TIGA MASALAH PENTINGTENTANG SHALAT 3
Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi dan rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para shahabatnya, wa ba`du:
Berikut
ini adalah uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat
bagi orang sakit.
Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap
shalat, karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh,
pakaian atau tempat shalat, keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat
sahnya shalat. Maka apabila seorang muslim hendak melakukan shalat, ia wajib
berwudhu (bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia
berhadats besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja' (bersuci) dengan air
atau beristijmar dengan batu jika kencing atau buang air besar, agar
kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.
Dan
berikut ini uraian tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:
Bersuci
dengan air dari apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing
atau berak adalah wajib.
Dan tidak
diwajibkan (kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin
(kentut), yang wajib baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja' itu disyari`atkan
untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur dan keluar angin itu tidak ada
najis.
Istijmar
adalah pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau
sesuatu yang serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah
batu yang suci dan bersih, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam
hadits shahihnya bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya".
Dan beliu
juga bersabda:
"Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya" (HR. Abu Daud).
Dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari
tiga batu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tidak
boleh beristijmar dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan,
atau apa saja yang haram.
Afdhalnya
adalah beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti
tissue dan lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi
menghilangkan materi najis, sedangkan air mensucikan tempat (najis). Maka yang
demikian ini lebih suci.
Seseorang
boleh memilih antara beristinja' dengan air atau beristijmar dengan batu dan
benda yang serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.
Dari Anas
radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata:
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah masuk
ke jamban, dan aku bersama anak sebaya denganku memba-wa bejana berisi air dan
tongkatnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beristinja dengan air
itu". (Muttafaq alaih).
Dan dari
`Aisyah radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang:
"Suruhlah suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku
malu kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu 'anhu selalu
melakukannya". Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih".
Apabila
memilih salah satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat
mensucikan tempat (najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu
lebih sempurna dalam membersihkan. Dan seandainya memilih bersuci dengan
mengguna-kan batu, maka boleh dengan syarat menggunakan tiga batu yang dapat
membersihkan tempat (najis).
Jika tiga
batu tidak cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga
tempat najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil,
karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan".
Dan tidak
boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena Salman berkata di dalam
haditsnya:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang
siapa saja dari kami beristinja dengan tangan kanan".
Dan
beliau bersabda:
" Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing, dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan".
Jika
tangannya patah atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan
tangan kanan, karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan
keduanya, istijmar dan istinja dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal
dan lebih sempurna.
Ajaran
Islam (Syari`at Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka
dari itulah Allah memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur
di dalam peribadatan sesuai dengan udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah
kepada-Nya tanpa kesulitan. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj: 78).
Dan
firmanNya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak
menghendaki kesulitan bagimu". (Al-Baqarah: 185).
Dan
firmanNya:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut
kesanggupanmu". (At-Taghabun:16).
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian".
Dan
beliau juga bersabda:
"Sesungguhnya agama itu mudah".
Orang
sakit, apabila ia tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti
berwudhu dari hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau
khawatir akan bertambah parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh
ber-tayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci satu
kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan
telapak tangannya; karena Allah berfirman:
"Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah itu. (Al-Ma`idah:
6).
Orang
yang tidak mampu menggunakan air kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan
orang yang tidak memperoleh air, karena firman Allah Ta'ala:
"Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut ke-mampuan
kalian". (At-Taghabun: 16).
Dan juga
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir:
"Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sam-bil menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya.
Dan tidak
boleh bertayamum kecuali dengan tanah bersih yang berdebu.
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya".
Ada beberapa
kondisi orang sakit dalam hal bersuci:
1. Apabila
sakitnya ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan
air, atau penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses
penyembuhannya, atau tidak menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius
seperti pusing, sakit gigi atau penyakit lainnya yang serupa; atau orang sakit
itu masih dapat mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka
dalam kondisi seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu
dibolehkan untuk menghindari bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak
ada sesuatu yang membahayakan; dan karena ia juga memperoleh air. Dengan
demikian, ia wajib meng-gunakan air.
2. Jika
ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau membahayakan salah
satu anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan akan timbulnya
penyakit lain yang dapat membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu
anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan hilang-nya manfa`at, maka dalam kondisi
seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, se-sungguhnya
Allah Maha Penyayang kepadamu". (An-Nisa': 29).
3. Jika
ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada
orang yang mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi-nya bertayamum.
Kalau dia tidak dapat bertayamum, maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika
tubuh, pakaian atau tempat tidurnya terkena najis, sementara ia tidak mampu
menghilangkan atau bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat
dalam keadaan seperti itu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menu-rut
kemampuan kalian".
Dan tidak
boleh baginya menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan
keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.
4. Bagi
orang yang luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat
mem-bahayakan dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum,
karena dalil-dalil di atas; akan tetapi jika ia memungkinkan untuk mencuci
bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian itu wajib dan
bagian yang lain disucikan dengan tayamum.
5. Apabila
si sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada
orang yang mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau
tayamum), dan tidak ada alasan baginya untuk menunda waktu shalat, karena
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan
kalian".
6. Bagi
orang yang menderita penyakit beser (kencing terus menerus) atau pendarahan
yang terus-menerus atau selalu buang angin, sedangkan pengobatan tidak pernah
menyembuhkannya, maka ia wajib berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk
waktu, dan mencuci bagian tubuh atau pakaian yang terkena kotorannya, atau
memakai pakaian bersih pada setiap kali shalat, jika hal itu memungkinkan;
sebab Allah telah berfirman:
"Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj:
78).
Dan
firmanNya:
"Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian". (Al-Baqarah: 185).
Dan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Apabila aku perintah kalian melakukan suatu perkara, maka
lakukanlah ia menurut kemam-puan kalian".
Dan
hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk mencegah tersebarnya air seni atau
darah ke pakaian, tubuh atau tempat shalatnya.
Dan
diperbolehkan baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan
shalat sunnat apa saja atau membaca Al-Qur`an. Lalu apabila waktu telah habis,
wajib berwudhu' lagi atau ber-tayamum jika tidak dapat berwudhu', karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh wanita yang menderita
istihadhah (keluar darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar
berwudhu' pada setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang
keluar pada waktu itu tidak apa-apa asalkan ia berwudhu' sesudah masuk waktu
(shalat).
Jika pada
anggota tubuh ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup
mengusap di atas pembalut tersebut pada saat berwudhu' atau mandi dan mencuci
bagian anggota yang lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota
yang dibalut itu membahayakan, maka cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian
yang tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.
Tayamum
batal dengan setiap hal yang mem-batalkan wudhu' atau karena adanya
kemampuan untuk menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak
ada air. Wallahu a`lam.
TATA
CARA SHALAT ORANG SAKIT:
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak
mampu melakukan shalat dengan berdiri hen-daknya shalat sambil duduk, dan jika
tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh
miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh
miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat
dengan berbaring mi-ring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telen-tang,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada `Imran bin Hushain:
"Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring". (HR. Bukhari).
Dan Imam
An-Nasa'i menambahkan:
"... lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang".
Dan
barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka
kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu
ruku' dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan
berisya-rat; karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"...Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu)
dengan khusyu'.`". (Al-Baqarah: 238).
Dan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Shalatlah kamu sambil berdiri".
Dan juga
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut
kesanggupanmu". (At-Taghabun: 16).
Dan jika
pada matanya terdapat penyakit, se-mentara para ahli kedokteran yang terpercaya
menga-takan: "Jika kamu shalat bertelentang lebih memu-dahkan
pengobatanmu", maka boleh shalat telentang.
Barangsiapa
tidak mampu ruku` dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala
pada saat ruku' dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada
ruku`.
Dan jika
hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan
berisyarat.
Jika ia
tidak dapat membungkukkan pung-gungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan
jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka
apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud
ia lebih membungkukkan lagi semam-punya hingga mukanya lebih mendekati tanah
se-mampunya.
Dan
barangsiapa tidak mampu berisyarat de-ngan kepala, maka dengan niat dan bacaan
saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun
selagi ia masih sadar (ber-akal), karena dalil-dalil tersebut di atas.
Dan
apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak
mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau ber-isyarat
dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan
meneruskan shalat tersebut.
Dan apabila
si sakit tertidur atau lupa melaku-kan shalat atau karena lainnya, ia wajib
menunaikan-nya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh
menundanya kepada waktu berikutnya. Seba-gaimana sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam:
"Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka
hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya
kecuali hanya itu". Lalu beliau mem-baca firman Allah: "dan
dirikanlah shalat untuk mengingatKu". (Thaha: 14).
Tidak
boleh meninggalkan shalat dalam keada-an bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf
wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya
melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan
shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar
(kesadarannya utuh). Ia wajib menunai-kan shalat tersebut menurut kemampuannya.
Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedang-kan ia sadar (masih
berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan
isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para
Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam:
"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia".
Dan
sabdanya:
"Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah
shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah"
Begitu
pula sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat" (HR.
Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan
pendapat ini yang lebih shahih, sebagai-mana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat
Al-Qur'an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.
Dan jika
ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama' antara
shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya', baik
jama' taqdim maupun jama' ta'khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh
memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan
Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh mema-jukan
Isya' bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya'. Adapun shalat
Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama' dengan shalat sebelum
atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.
Inilah
hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.
Aku
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. semoga menyembuhkan orang-orang sakit
dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan
afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah
lagi Maha Mulia.
Mufti
Umum Kerajaan Saudi Arabia,
Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar