Jumat, 15 Juni 2012

Al-Istibra’ (Masa Menunggu Bagi Seorang Wanita Setelah Mengandung),Al-Hadhanah (Hak Pemeliharaan)


Al-Istibra’ (Masa Menunggu Bagi Seorang Wanita Setelah Mengandung),Al-Hadhanah (Hak Pemeliharaan)
Top of Form

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Al-Istibra’ (Masa Menunggu Bagi Seorang Wanita Setelah Mengandung)
Apabila ada seorang laki-laki yang menginginkan budak wanita yang ingin dicampurinya, maka ia tidak boleh menggaulinya sampai dia istibra. Jika ia sedang hamil, maka sampai melahirkan dan jika tidak, maka dengan habisnya masa satu kali haidh.

Dari Ruwaifi’ bin Tsabit bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” [1]

Dan dari Abi Sa’id bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas:

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً.

“Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidhnya sekali.” [2]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

إِذَا وُهِبَتِ الْوَلِيْدَةُ الَّتِي تُوْطَأُ، أَوْ بُيِعَتْ، أَوْ عُتِقَتْ، فَلْيَسْتَبْرَأْ رَحِمَهَا بِحَيْضَةٍ، وَلاَتَسْتَبْرَأُ الْعَذَارَاءُ.

“Jika seorang budak wanita yang pernah dicampuri dihadiahkan, dijual atau dimerdekakan, maka ia harus istibra’ dengan satu kali haidh, sedangkan jika ia masih gadis maka tidak perlu istibra’.” [3]

Al-Hadhanah (Hak Pemeliharaan)
Yaitu menjaga anak dan memeliharanya dari segala sesuatu yang membahayakannya dan mengupayakan apa yang maslahat baginya.

Apabila seorang suami menceraikan isteri sedangkan ia memiliki seorang anak darinya, maka sang isteri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia berumur tujuh tahun selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain. Dan apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya.

Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang wanita berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susukulah yang memberinya minum dan pangkuankulah yang melindunginya. Namun ayahnya menceraikanku dan ingin merebutnya dariku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” [4]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:

يَارَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ زَوْجِيْ يُرِيْدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِيْ وَقَدْ سَقَانِيْ مِنْ بِئْرِأَبِيْ عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِيْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَذَا أَبُوْكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ، فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ، فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ، فَانْطَلَقَتْ بِهِ.

“Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia yang mengambilkan air dari sumur Abu ‘Inabah untukku dan ia sangat berguna bagiku.” Maka Nabi J bersabda, ‘Wahai anak laki-laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari mereka yang engkau kehendaki.’ Lalu ia memegang tangan ibunya, maka ia membawanya pergi.” [5]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1890)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 229, no. 1140), Sunan Abi Dawud (VI/195, no. 2144) dalam hadits yang panjang.
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1889)], Sunan Abi Dawud (VI/194, no. 2143).
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2139)], Shahiih al-Bukhari (IV/423) secara mu’allaq..
[4]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2187)], Sunan Abi Dawud (VI/371, no. 2259).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1992)], Sunan an-Nasa-i (VI/185), Sunan Abi Dawud (VI/371, no. 2260 dalam al-Qishshah, Sunan at-Tir-midzi (II/405, no. 1368) secara ringkas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar