Al-Muharramat (Yang Haram Dinikahi ) Dari Kalangan Wanita, Wanita-Wanita Yang Diharamkan Sementara
KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Berapa Wanitakah Yang Boleh Dinikahi?
Tidak boleh bagi seorang lelaki untuk menikah lebih dari empat isteri, sebagaimana firman Allah:
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
"Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat." [An-Nisaa’: 3]
Dan juga sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ghailan bin Salamah tatkala masuk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri:
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ.
“Peganglah empat isteri dan ceraikanlah selainnya.” [1]
Dari Qais bin al-Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِيْ ثَمَانِيَةُ نِسْوَةٍ، فَـأَتَيْتُ النَّبِـيَّ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.
“Aku masuk Islam sedangkan aku masih memiliki delapan isteri, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan hal tersebut, maka beliau bersabda, ‘Pilihlah empat di antara mereka.’” [2]
Al-Muharramat (Yang Haram Dinikahi) Dari Kalangan Wanita
Allah Ta'ala berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. " [An-Nisaa’: 22-24]
Melalui tiga ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan al-Muharramat (yang haram dinikahi) dari kalangan wanita. Apabila kita memperhatikan ayat-ayat tersebut, kita akan dapat menyimpulkan bahwasanya tahrim (pengharaman) itu ada dua macam, yaitu :
Tahrim Muabbad: Pengharaman untuk selamanya, di mana seorang wanita tidak boleh menjadi isteri bagi lelaki sampai kapan pun.
Tahrim Muaqqat: Pengharaman untuk sementara, di mana seorang wanita tidak boleh menikah dengan seorang lelaki dalam keadaan tertentu. Namun jika keadaan telah berubah, maka pengharaman tersebut hilang sehingga ia menjadi halal.
Dan sebab-sebab Tahrim Muabbad ada tiga, yaitu: Nasab (karena keturunan), Mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan ar-Radhaa’ah (hubungan sepersusuan).
Pertama: Wanita yang haram dinikahi dari jalur nasab ada tujuh, yaitu: Ibu, anak perempuan, saudara perempuan kandung, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.
Kedua: Wanita yang haram dinikahi karena mushaharah ada empat, yaitu:
Ibu dari isteri, dan dalam pengharamannya tidak disyaratkan suami harus sudah menggauli isteri. Akan tetapi hanya dengan akad terhadap anak perempuannya, maka ia menjadi haram untuk dinikahi.
Anak perempuan dari isteri yang sudah digauli. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki melakukan akad nikah dengan sang ibu sedangkan ia belum menggaulinya (kemudian menceraikannya atau ia meninggal), maka anak perempuan tersebut tetap halal baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.”
Isterinya anak: ia akan menjadi haram untuk dinikahi hanya dengan adanya akad.
Isterinya bapak: diharamkan bagi seorang anak menikahi isteri bapaknya hanya dengan akad sang bapak terhadap pe-rempuan tersebut.
Ketiga: Wanita yang haram dinikahi karena adanya fak-tor susuan, yaitu:
Firman Allah Ta'ala: “Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan.”
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
اَلرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةَ.
“Haram karena sebab sepersusuan seperti haram karena sebab kelahiran.” [3]
Dengan demikian kedudukan murdhi'ah (wanita yang menyusui) seperti kedudukan sang ibu, sehingga ia menjadi haram bagi anak susuannya. Demikian juga setiap perempuan yang diharamkan bagi anak untuk dinikahi dari pihak ibu secara nasab. Oleh karena itu, anak susuan haram menikah dengan:
1. Murdhi'ah (wanita yang menyusuinya).
2. Ibu dari murdhi'ah.
3. Ibu dari suami murdhi'ah.
4. Saudara perempuan murdhi'ah.
5. Saudara perempuan dari suami murdhi'ah.
6. Anak perempuan dari anaknya murdhi'ah (cucunya murdhi'ah) dan anak perempuan dari cucunya murdhi'ah.
7. Saudara perempuan sepersusuan.
Jumlah Penyusuan Yang Menjadikan Haram Dinikahi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالمَصَّتَانِ.
“Sekali dan dua kali isapan itu tidak menjadi mahram.” [4]
Dari Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ أََوِ الرَّضْعَتَانِ، أَوِالْمَصَّةُ أَوالْمَصَّتَانِ.
“Sekali atau dua kali susuan atau sekali atau dua kali isapan itu tidak menjadi mahram.” [5]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata :
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ (عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ) ثُمَّ نُسِخْنَ (بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ)) فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ اْلقُرْآنِ.
“Pada awalnya yang diharamkan al-Qur-an ialah ‘sepuluh penyusuan yang dikenal,’ kemudian dihapus dengan ‘lima penyusuan tertentu,’ dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat ketika keadaan masih tetap sebagaimana ayat al-Qur-an yang dibaca.” [6]
Dan syarat penyusuan yang menjadikan mahram adalah dalam usia dua tahun, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” [Al-Baqarah: 233]
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلاَّ مَا فَتَقَ اْلأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ.
‘Tidak menjadikan mahram karena penyusuan melainkan apa yang membuat (seorang bayi) mencukupi perutnya ketika menyusunya dan dilakukan sebelum disapih.’” [7]
Wanita-Wanita Yang Diharamkan Sementara
1. Menghimpun (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…" [An-Nisaa: 23]
Menghimpun (dalam perkawinan) antara wanita dan ‘ammahnya (bibi dari pihak ayah) atau khalahnya (bibi dari pihak ibu), sebagaimana disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
“Janganlah seorang wanita dihimpun (dalam perkawinan) dengan ‘ammah atau khalahnya.” [8]
2. Isteri orang lain dan wanita yang masih dalam ‘iddah (masa menunggu seorang wanita setelah cerai atau ditinggal mati suaminya, untuk boleh menikah lagi).
Karena Allah Ta’ala berfirman :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki." [An-Nisaa’: 24]
Maksudnya adalah, diharamkan atas kalian menikahi wanita-wanita yang masih menjadi isteri orang lain, kecuali tawanan perempuan, karena tawanan perempuan halal karena status tawanannya. Hal itu dilakukan setelah istibra’ (dibebaskan dengan minta izin imam) meskipun masih mempunyai suami, sebagaimana hadits riwayat Abu Sa’id, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقِيَ عَدُوًّا فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا سَبَايًا، وكَانَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَأَنْزَلَ اللهُ عزوجل فِي ذَلِكَ ((وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ)) أَيْ فَهُنَّ لَكُمْ حَلاَلٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ.
“Bahwasanya pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus pasukan ke Authas, pasukan tersebut bertemu dengan musuh, kemudian memerangi mereka hingga menang dan mendapatkan beberapa tawanan wanita. Akan tetapi sebagian dari Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa enggan untuk menggauli mereka dikarenakan mereka masih mempunyai suami-suami dari kalangan musyrikin. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya: 'Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.' (An-Nisaa: 24) maksudnya, mereka halal bagi kalian jika ‘iddahnya telah selesai.[9]
3. Isteri yang telah ditalak tiga kali.
Wanita tersebut tidaklah halal bagi suaminya yang pertama sampai ia menikah dengan laki-laki lain dengan nikah yang sah, karena Allah Ta’ala berfirman :
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalan-kan hukum-hukum Allah." [Al-Baqarah: 230]
4. Menikah dengan wanita pezina.
Tidak boleh bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita pezina, sebagaimana juga tidak boleh bagi wanita baik-baik untuk menikah dengan laki-laki pezina, kecuali apabila setiap dari keduanya telah bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin." [An-Nuur : 3]
Dan dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari bapaknya dari kakeknya:
أَنَّ مُرْثِدَ بْنَ أَبِيْ مُرْثِدٍ الْغَنَوِيْ كَانَ يَحْمِلُ الأَسَارَى بِمَكَّةَ، وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ، وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ))وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ )) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ، وَقَالَ: لاَ تَنْكِحُهَا.
“Bahwa Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah terdapat wanita pelacur bernama ‘Anaq yang merupakan teman dekatnya. Ia (Murtsid) mengatakan bahwa ia datang untuk menemui Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam. Lalu ia bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikahi ‘Anaq?’ Maka beliau pun terdiam, kemudian t-runlah ayat 'Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musrik.' (An-Nuur: 3) selanjutnya beliau memanggil Murtsid dan membacakan ayat tersebut seraya bersabda, ‘Janganlah engkau menikahinya.’” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1589)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 295, no. 1138), Sunan Ibni Majah (I/628, no. 1953).
[2]. Hasan Shahih: [Shahiih as-Sunan Ibni Majah (no. 1588)], Sunan Ibni Majah (I/628, no. 1952).
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/139, no. 5099), Shahiih Muslim (II/1068, no. 1444), Sunan Tirmidzi (II/307, no. 1157), Sunan Abi Dawud (VI/53, no. 2041), Sunan an-Nasa-i (VI/99).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1577)], [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2148)], Shahiih Muslim (II/1073, no. 1450), Sunan Tirmidzi (II/308, no. 1160), Sunan Abi Dawud (VI/69, no. 2049), Sunan Ibni Majah (I/ 624, no. 1941), Sunan an-Nasa-i (VI/101).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 878)], Shahiih Muslim (II/1074, no. 1451(20)) dan ini adalah lafazhnya, Sunan an-Nasa-i (VI/101).
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 879)], Shahiih Muslim (II/1075, no. 1452), Sunan Abi Dawud (VI/67, no. 2048), Sunan at-Tirmidzi (II/308, no. 1160), Sunan Ibni Majah (I/625, no. 1942) dengan makna yang sama, Sunan an-Nasa-i (VI/100).
[6]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2150)], Sunan at-Tirmidzi (II/311, no. 1162).
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/160, no. 5109), Shahiih Muslim (II/1028, no. 1408), Sunan Abi Dawud (VI/72, no. 2052), Sunan at-Tirmidzi (II/297, no. 1135), Sunan Ibni Majah (I/621, no. 1929) dengan makna yang sama, Sunan an-Nasa-i (VI/98).
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 837)], Shahiih Muslim (II/1079, no. 1456), Sunan at-Tirmidzi (IV/301, no. 5005), Sunan an-Nasa-i (VI/110), Sunan Abi Dawud (VI/190, no. 2141).
[8]. Sanadnya hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3028)], Sunan Abi Dawud (VI/48, no. 2037), Sunan an-Nasa-i (VI/66), Sunan at-Tirmidzi (V/10, no. 3227).
http://almanhaj.or.id/content/1246/slash/0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar