Jurus Jitu Mendidik Anak
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A
Prolog
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah
kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah
untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga
selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan
kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar
pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi
tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu
Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun
semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
-yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih
ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
JURUS PERTAMA : MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap
lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap
ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan
pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara
kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi
orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari
semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara
tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena
istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena
dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua.
Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk
membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak
bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi
bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan
kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar
untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka
terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal
mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa
saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu
apa saja yang dibutuhkan ?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik
anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara
berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari
orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan
keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya.
Nabishallallahu’alaihiwasallam mencontohkan
bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya
untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا
سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau
meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau
berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan
cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk
para orangtua,
“مُرُوا
أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur
tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR.
Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada
anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang
yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap
orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara
makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya
sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,
“يَا
غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan
gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi
Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi
dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif
atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak.
Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat
yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak
lainnya.
Ayo
belajar !
Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada
kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita
untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri
majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul
menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari
anaknya!
JURUS
KEDUA : MENDIDIK
ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir
dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan
kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka
berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu
mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah
yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah
tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran
melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua
anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang
salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut
dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang
bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang
manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan
orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh
keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan
lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi
kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama.
Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang
kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata
adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya,
manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri
berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang
sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka
matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya.
Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah,
niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllahitupun
juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah
tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak
disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari
mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!
Beberapa
contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan
shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan
hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik
menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah
rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu
ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan
membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara
biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata,
hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua
kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh
pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta
ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan?
Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya.
Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada
anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan
jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian,
“Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke
kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru
dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi
pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia
belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus
menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi
hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah
renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh
tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat
terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa
untuk para orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya
mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu
ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga
teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu
berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak
mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya,
sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan
terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus
seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran
negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang.
Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki
diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan
orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik
kita, amien…
JURUS
KETIGA : MENDIDIK ANAK PERLU
KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa
disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah
mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh
ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh
aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun
hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk
merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya,
menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena
mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan
keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di
antaranya:
- Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
- Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
- Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
- Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْArtinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Mulailah
dari sekarang !
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil
apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu
buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap
tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan
menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan
penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang
mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka,
membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong
agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke
mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan
bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah
dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
JURUS
KEEMPAT : MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang
ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia.
Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan
bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan
kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan
kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak
sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh
aplikasi kesabaran
1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak.
Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang
menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam menggambarkan
hal itu dalam sabdanya,
”مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”“
Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah
yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai
dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal
itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan
mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan,
namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak.
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai
tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat,
memerlukan kesabaran yang tidak sedikit.
Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang
tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab
pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita,
‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka
memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah
menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya,
serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita
ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan
justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya
dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa
memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa
orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya
pergaulan di luar saat ini!
3. Sabar menjadi pendengar yang baik.
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi
anak-anaknya.
Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua
lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya
serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang
sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari.
Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas
keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga
khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung
menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan.
Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu
memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau
“Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia
malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang
anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan.
Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas
mendadak dari sekolah.
Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia
merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau
mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk
menjadi pendengar yang baik.
Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk
mengungkapkan segalanya.
Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba.
Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda
berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
4. Sabar manakala emosi memuncak.
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada
anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa
pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi,
tidak untuk menjadikan anak lebih baik.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan
sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk
menurunkan amarah kita dengan segera.
Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni
berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai
emosi kita mereda.
Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik
dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman
adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.
5. Berakit-rakit
ke hulu
Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali,
pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam
mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia
maupun akhirat.
Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada
orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam
akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus
mengalir deras. Semoga…
JURUS
KELIMA : MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN
DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah
satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas.
Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian
yang menimpa sepasang suami istri.
Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada
satupun di antara anaknya yang datang menjenguk.
Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil
menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah
saya merasakan akibat dari doa saya!
Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’.
Berhasil, kaya, sukses dst.
Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya.
Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di
berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan
uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera
berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih
sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu
saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi
jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik
dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ
hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna
imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan
keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum
muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Seberapa
besar sih kekuatan doa ?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik,
menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak
berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi
anak salih.
Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa
kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun
ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala.
Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih,
memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam
hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallammenjelaskan
hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ
دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ
الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun.
Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakanhasan oleh
Syaikh al-Albany.
Sejak
kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan
untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ
يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan
istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy
syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan
dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka
berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR.
Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah
lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon
agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ
هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk
orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ
هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan
iringilah terus dengan doa.
Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan
iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.
Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan
doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi
tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia
menjadi anak salih.
Awas, hati-hati !
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik
maupun buruk.
Maka berhati-hatilah wahai para orangtua.
Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata
yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut,
akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn
al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah
engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri
yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9
Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Artikel www.tunasilmu.com dan
dipublikasikan kembali oleh salafiyunpad.wordpress.com
Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr
al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356),Tafsîr
Ibn Katsîr (V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal.
302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar