Istri
Cantik, Perlukah?
“Wanita cantik memang relatif,
tapi kalau jelek itu mutlak!”
Demikianlah bunyi sebuah joke klise
yang tidak tepat alias ngawur.Lho, kok ngawur?
Ya, sebab pada dasarnya segala yang Allah ciptakan itu bagus dan indah. Allah
berfirman:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ
خَلَقَهُ
“Dialah yang membaguskan segala
sesuatu yang Dia ciptakan.” (QS. As-Sajdah [32]: 7)
Nabi ` bersabda:
كُلُّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
حَسَنٌ
“Segala ciptaan Allah ‘Azza
wa Jalla itu indah.” [Riwayat Ahmad dan ath-Thabrāni, serta dinyatakan
valid oleh Syaikh al-Albāni]
Hanya saja, keindahan fisik yang
Allah berikan kepada masing-masing individu itu beraneka ragam dan
bertingkat-tingkat. Keanekaragaman dan tingkatan itulah yang kemudian
didefinisikan sebagai jelek, cantik atau tampan. Tipe dan model yang begini
disebut sebagai cantik, dan model yang begitu disebut jelek. Pada dasarnya,
yang demikian itu hanyalah diversifikasi dan pembedaan bentuk. Bayangkan
sekiranya seluruh manusia itu memiliki wajah dan postur yang sama. Repot kan?
Adalah fithrah manusia untuk
menyukai segala hal yang indah. Karena itu, merupakan hal yang lumrah apabila
seorang lelaki mencari wanita yang menurutnya indah atau cantik. Terkadang kita
jumpai sikap berlebihan (ghuluww atau ifrāth) di
kalangan sebagian aktivis, bahwa seolah-olah menjadikan kecantikan sebagai
salah satu parameter dalam memilih pasangan hidup merupakan ‘dosa’ atau
perbuatan tercela. Sebagian mereka juga ‘pasrah’ begitu saja apabila dijodohkan
oleh pembimbing agama mereka (murabbi). Sikap semacam ini tentu saja
bukan merupakan sikap yang tepat atau harus dilakukan. Sayangnya, ini masih
cukup sering terjadi.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang
mudah (yusr) dan toleran (samhah). Islam mengakomodir keinginan
dan kebutuhan manusia. Hanya saja, Islam memberi batasan dan aturan dalam
pemuasan kebutuhan dan keinginan tersebut, untuk mencegah terbukanya
pintu-pintu kerusakan.
Islam mengakomodir fithrah dan
naluri manusia untuk menyukai lawan jenisnya. Karena itu Islam membolehkan
bahkan menganjurkan menikah, serta menafikan dan melarang sikap membujang (tabattul).
Namun, di sisi lain, Islam mengecam keras perbuatan zina, yang mengakibatkan
hancurnya tatanan sosial dalam masyarakat.
Demikian pula halnya dalam memilih
pasangan hidup. Islam mengakomodir apabila seorang pria membutuhkan wanita
cantik sebagai pendamping hidupnya, selama proses yang dijalankan tidak
bertentangan dengan syariah. Jika seseorang suka makan gado-gado dan tidak suka
makan bakso, maka jangan dipaksa untuk makan bakso, bukankah begitu?
Pemaksaan ‘selera’ dalam kehidupan
rumah tangga dampaknya bisa sangat fatal, yaitu berupa ketidakharmonisan
hubungan suami istri dan lain-lain. Sebagian orang menyatakan bahwa rumah
tangga yang tidak harmonis termasuk ‘neraka dunia’. Sayangnya, ada muslimah
yang kurang menyadari hal-hal tersebut.
Jika ada ikhwān melakukan nazhar (melihat
calon pasangan) dalam prosesta`āruf (saling mengenal sebelum
pernikahan) lalu proses tersebut gagal karena sang muslimah dinilai belum
memenuhi kriteria secara fisik, maka jadilah si ikhwān jadi
bahan celaan. Padahal, seharusnya si akhwat tersebut berlapang dada. Sebab,
jika proses tersebut dipaksakan berlanjut ke jenjang pernikahan, maka besar
kemungkinan akan terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga, yang dapat
berbuntut perceraian.
Meskipun demikian, sikap semata-mata
mencari kecantikan (beauty oriented) juga kurang tepat. Sebab, sekedar
pasangan cantik tidak menjanjikan kebahagiaan. Faktor paling krusial dalam
kebahagiaan rumah tangga adalah akhlak dan keshalihan dalam beragama. Ini
adalah realitas yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang telah mengecap
kehidupan rumah tangga.
Dari Abū Hurairah,
Nabi ` bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأةُ لأَرْبَعِ
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ الدين
تَرِبَتْ يَدَاك
“Wanita dinikahi karena empat perkara:
karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.
Maka hendaklah engkau mendapat wanita yang baik agamanya agar engkau beruntung
dan tidak merugi.” [Riwayat al-Bukhāri.]
Ada dua pendapat di kalangan
ulama dalam memahami hadits ini:
Pendapat Pertama: Hadits ini menunjukan bahwa seorang pria
dianjurkan/disunnahkan untuk mencari istri dengan memperhatikan empat kriteria
tersebut (harta, martabat, kecantikan dan agama). Ini adalah pendapat yang
dipilih oleh al-Hāfizh Ibn Hajar. Beliau berkata, “Sabda Nabi `: ‘karena
kecantikannya‘ merupakan dalil bahwa dianjurkan untuk menikahi wanita yang
jelita. Kecuali jika terjadi kontradiksi antara wanita yang cantik jelita namun
tidak shalih dan wanita yang shalih namun tidak cantik jelita (maka diutamakan
yang shalih meskipun tidak cantik). Jika keduanya sama dalam hal keshalihan
maka yang cantik jelita lebih utama (untuk dinikahi)….” [Lihat al-Fath,
vol. IX, hal. 135].
Pendapat Kedua: Hadits tersebut hanya menyebut realitas yang terjadi
di masyarakat, bahwa wanita dinikahi karena empat kriteria tadi. Dan kriteria
yang dianjurkan dalam menikahi wanita hanyalah karena kebaikan agamanya. Ini
adalah pendapat yang dipilih oleh Imam an-Nawawi. [Lihat al-Minhāj
SyarhShahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, vol. X, hal. 51-52. Pendapat ini
telah diisyaratkan oleh asy-Syaukani dalaman-Nail vol. IX,
hal. 234.]
Imam Ibn Qudāmah berkata, “Hendaklah
ia memilih wanita yang cantik jelita agar hatinya lebih tentram serta ia bisa
lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya
akan semakin sempurna. Karena itulah disyari’atkan nazhar (melihat
calon istri) sebelum dinikahi. Diriwayatkan dari Abū Bakr Ibn Muhammad Ibn `Amr
Ibn Hazm dari Rasulullah `, bahwa beliau bersabda,
إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا
اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا
“Para wanita itu ibarat mainan, maka
jika salah seorang dari kalian hendak mengambil sebuah mainan maka hendaknya ia
memilih mainan yang baik (yang cantik).” [Hadits ini dinyatakan tidak valid
oleh Syaikh al-Albāni dalam adh-Dha’īfah no. 462.
Lihat al-Mughnī vol. VII, hal. 82.]
Imam al-Munāwi berkata, “Jika
pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka pernikahan ini akan lebih
langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang
wanita, karena kecantikan adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita
adapun kekayaan adalah sifat bisa (lebih mudah) hilang dari sang wanita.”
Namun, sebagian Salaf tidak suka
untuk menikahi wanita yang terlalu cantik. Imam al-Munāwi berkata, “Salaf
membenci wanita yang terlalu cantik karena hal itu (dapat) menimbulkan sikap
kesewenangan pada diri wanita, yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap
perendahan sang pria.”[Faidhu'l Qadīrvol. III, hal. 271.]
Ada hadits yang menunjukan
larangan menikahi wanita karena motivasi selain agama. Dari Abdu’Llah Ibn `Amr,
Nabi ` bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن
فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وانكحوهن
للدين. وَلَأَمَةٌ سوداء خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para
wanita karena kecantikan. Sebab bisa jadi kecantikan menjerumuskan mereka dalam
kebinasaan. Dan janganlah kalian menikahi para wanita karena harta, karena bisa
jadi harta menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas. Namun
nikahilah para wanita karena agama mereka. Sesungguhnya seorang budak wanita
yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan dengan telinga yang berlubang
namun agamanya baik itu lebih baik (untuk dinikahi).” [Riwayat Ibn Mājah,
al-Bazzār dan al-Baihaqi.]
Namun hadits ini tidak valid, tidak
dapat dijadikan hujjah. [Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh
al-Albāni dalam adh-Dha’īfah vol. III, hal. 172,
dan Dhaī'fu'l Jāmi` no. 6216.]
Penting untuk diperhatikan,
sebaiknya seorang pria menanyakan atau mencari tahu tentang kecantikan calon
istri sebelum agamanya. Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin meminang
seorang wanita maka hendaklah yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya.
Jika dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya. Jika kecantikannya
tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena
kecantikannya.” [Syarh Muntahā'lIradāt, vol. II, hal. 623.]
Perkataan Imam Ahmad tersebut
menunjukan tingginya fiqh dan pemahaman beliau. Sebab jika yang pertama kali
ditanyakan adalah tentang agama si wanita, lalu dikabarkan kepadanya bahwa yang
bersangkutan adalah wanita yang shalih, akan tetapi kemudian setelah dilihat
ternyata secara fisik si wanita jauh di bawah harapan si pria, sehingga ia
tidak jadi menikahi wanita tersebut, maka berarti si pria telah meninggalkan
wanita tersebut padahal ia telah mengetahui bahwa wanita itu adalah wanita yang
shalih.
Namun sekali lagi penting untuk
ditekankan bahwa kecantikan adalah hal yang relatif. (Ingat joke di
awal tulisan?) Terkadang seorang wanita sangat cantik menurut pria tertentu,
namun ternyata tidak demikian menurut pria yang lain. Di samping itu, kriteria
akhlak dan keshalihan agama lebih penting untuk ditekankan.
Ada saudara kita yang berumah
tangga dan telah dikaruniai anak. Istrinya cantik. Keturunan Arab. Konon,
adalah yang paling cantik di daerahnya dan menjadi idaman para pemuda di
lingkungannya. Saudara kita ini merasa bangga bisa mendapatkannya. Namun, pada
suatu perbincangan dia bertutur memberikan wejangan. Kira-kira demikian inti
ceritanya:
“Kita memang harus percaya dengan
hadits Nabi ` tentang dinikahinya wanita karena empat perkara.
Benarlah anjuran untuk wanita karena agamanya. Sungguh kecantikan istri kita
itu akan memudar atau kita akan merasa terbiasa, bahkan mungkin kita bosan.
Setiap saat, setiap hari, kita melihat dan berjumpa dengannya. Akibatnya,
kecantikan yang dulu terasa istimewa itu menjadi biasa. Bahkan, tak jarang kita
akan melihat bahwa wanita lain terasa jauh lebih cantik darinya. Belakangan ini
kami sering bertengkar, terutama ketika ia diingatkan tentang perkara agama.
Maka, berusahalah untuk mencari istri yang baik dari sisi agamanya, niscaya
akan datang ketenangan dan kebaikan dalam rumah tangga.”
Kemudian saudara kita tersebut
menuturkan kisah salah seorang sahabatnya yang dikenalkan kepada kebenaran oleh
istrinya. Dia begitu setia mengajari dan senantiasa melayani dengan tulus serta
ikhlas untuk mengabdi pada sang suami, sehingga tiba suatu masa di mana si
istri sampai mengatakan, “Silakan jika ingin ta’addud (poligami).
Bila perlu akan saya bantu untuk mencarikan.” Ternyata, si suami sama sekali
tidak tertarik, karena merasa istri tercintanya tersebut sudah demikian
istimewa, sedangkan belum tentu ia akan mendapatkan yang semisal dari istri
kedua.
Walhasil, mencari istri cantik itu
perlu. Tapi jangan lengah terhadap kriteria lain yang lebih utama, yakni
keshalihan dan agama. Kata orang: Kita sedang mencari teman hidup, bukan teman
tidur. Menikah itu ‘bersenyawa’, bukan sekedar bersetubuh.
Pada diri manusia ada dua kebutuhan
yang harus terpenuhi. Kebutuhan lahir dan kebutuhan batin. Menurut saya,
kecantikan itu lebih terkait dengan pemenuhan kebutuhan lahir, sedangkan
keshalihan itu lebih terkait dengan pemenuhan kebutuhan batin. Selanjutnya,
kecantikan yang lebih bersifat lahir itu erat kaitannya dengan nafsu, sementara
keshalihan yang lebih bersifat batin itu erat kaitannya dengan cinta dan kasih sayang.
Idealnya, kebutuhan lahir dan batin, cinta dan nafsu, terkumpul dalam diri satu
orang yang bernama ‘istri’.
Akhirnya, saya tutup tulisan ini
dengan kata orang: “Untuk istri pertamamu, maka carilah wanita yang benar-benar
mengerti agama. Sebab dengan demikian engkau tidak akan kesulitan untuk mencari
istri kedua.” He he….
Salam,
Adni Kurniawan Abū Fāris an-Nūri. Jakarta,
02 Nov 2007
NB:
Bahan untuk menyusun tulisan ini
adalah sebuah pembahasan ilmiah yang pernah diberikan oleh sahabat dan saudara
saya yang mulia, Ustadz Firanda. Juga tulisan serupa yang dimuat dalam situs: www.salafyitb.wordpress.com oleh saudara dan kawan saya, Ustadz Abu Umair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar