Inilah Kisah Isra' Mi'raj yang Menakjubkan
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah
perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari
Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]
Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى
بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا
إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا
ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ
إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ
فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى.
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا
أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا
يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى.
عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا
زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ
الْكُبْرَى
“Demi
bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula
keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat,
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri
dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu
dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah
wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka
apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah
dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di
dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan
16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik,
Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay
bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang
menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya , dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu
hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari
baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya
langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar .
Kemudian datang kepadaku Jibril ‘alaihis salaam dengan membawa bejana
berisi khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang
berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang
sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu
dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya
bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya
shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan mendoakan
kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya
bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh
dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keempat dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya
bertemu dengan Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan
kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu
dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa
yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah
diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata
daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan
besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah
sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup
mengambarkan keindahannya
Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah
kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu
tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan
mencoba Bani Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada
Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya
ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu
dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara
Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada
akhirnya Allah berfirman:“Wahai
Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap
shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang
meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis
(dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya
bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini
kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya,
silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan
Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang
menyebutkan kisah ini. Terdapat pula tambahan riwayat tentang kisah ini
yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.
Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Sebagian orang meyakini bahwa
peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Padahal, para ulama ahli
sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian kisah ini. Ada
beberapa perbedaan pendapat mengenai penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu[2] :
- Peristiwa tersebut terjadi pada tahun tatkala Allah memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
- Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Imam An Nawawi dan Al Qurthubi rahimahumallah.
- Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian. Ini adalah pendapat Al Allamah Al Manshurfuri rahimahullah.
- Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam bulan sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian.
- Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun dua bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian.
- Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun sebelum hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah kenabian.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri hafidzahullah menjelaskan : “Tiga pendapat pertama tertolak. Alasannya karena Khadijah radhiyallahu ‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun
kesepuluh setelah kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada
kewajiban shalat lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa
diwajibkannya shalat lima waktu adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga pendapat lainnya, aku tidak mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika dilihat dari kandungan surat Al Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.”
Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah
suatu hal yang penting. Lagipula, tidak terdapat sedikitpun faedah
keagamaan dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti
Allah akan menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu ‘alam..
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti
sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi
dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat
dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
- Menerima berita tersebut.
- Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
- Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!”
Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik
berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan
kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung
satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang mengucapkan,
maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena
sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik
kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku
membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan.
Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana
mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis
ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari
‘Aisyah radhiyallahu’anha).[4]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau
tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan
dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang
muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`, yaitu:
- Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
- Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[5]
Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
- Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
- Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam
- Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
- Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’
digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat
dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka
ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj,
beliau mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur,
karena (kafir) Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa
itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi”[6]
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”[7]
- Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
- Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
- Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa ke langit dan beliau belum wafat.[8]
- Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
- Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
- Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
- Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
- Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
- Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
- Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah namun hanya mendengar kalam Allah.
- Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
- Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena dua alasan :
1. Malam Isra` Mi’raj tidak
diketahui secara pasti kapan terjadinya. Banyaknya perselisihan di
kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan
terjadinya Isra` dan Mi’raj,
merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah
menaruh perhatian yang besar tentang waktu terjadinya. Jika waktu
terjadinya saja tidak disepakati, bagaimana mungkin bisa dilakukan
perayaan Isra’ Mi’raj?
2. Dari sisi syari’at,
perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Seandainya perayaan tersebut
adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya.
Seandainya beliau dan para sahabat mengerjakannya atau menyampaikannya,
maka ajaran tersebut akan sampai kepada kita.
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut, maka perayaan Isra’ Mi’raj
bukan bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian dari agama Islam,
maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan bertaqarrub kepada
Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
Berikut di antara fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : ”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi di Sudan. Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin
setiap tahun, Apakah perayaan tersebut memiliki sumber dari Al Qur’an
dan As Sunnah atau pernah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin atau pada
zaman tabi’in? Berilah petunjuk kepadaku karena saya bingung dalam
masalah ini. Terimakasih atas jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah :
“Perayaan seperti itu tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah
dan tidak pula pada zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam
Al Qur’an dan sunnah rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala mengingkari orang-orang yang menjadikan syariat bagi mereka selain syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّه
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda beliau :
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Amma
ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara baru dalam agama, dan
setiap bid’ah adalah sesat.”[9]
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawsan kita, serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad
Penyusun : dr. Adika Mianoki
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Lihat Syarh Lum’atil I’tiqaad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58-59
[2] Lihat pembahsan ini dalam Ar Rahiqul Makhtum 108
[3] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 444
[4] Lihat Syarh Al Ushuul Ats Tsalatsah li Syaikh Shalih Fauzan 201
[6] Lihat dalam Syarh Lum’atil I’tiqad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58
[9] Penggalan dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Nuur ‘alaa Ad Darb. Diakses dari http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_675.shtml)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar