Apa Yang Disunnahkan Bagi Suami Jika Hendak Mendatangi Isterinya?
KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Kapan Disunnahkan Bagi Suami Untuk Membawa Isterinya?
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata.
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟ وَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal dan membawaku (kerumah beliau) di bulan Syawwal, siapakah di antara isteri Rasulullah yang lebih beruntung dariku?” Perawi berkata, “Dan ‘Aisyah senang jika para isteri Rasulullah yang lain mulai tinggal serumah dengan beliau pada bulan Syawwal.” [1]
Apa Yang Disunnahkan Bagi Suami Jika Hendak Mendatangi Isterinya ?
Disunnahkan bagi suami untuk bersikap lemah lembut terhadap isteri, seperti dengan menyuguhkan minuman atau yang sejenisnya kepada sang isteri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anha bahwasanya ia berkata:
إِنِّيْ قَيَّنْتُ عَائِشَةَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جِئْتُهُ فَدَعَوْتُهُ لِجَلْوَتِهَا، فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِهَا، فَأُتِيَ بِعُسِّ لَبَنٍ، فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَخَفَضَتْ رَأْسَهَا وَاسْتَحْيَتْ. قَالَتْ أَسْمَاءُ: فَانْتَهَرْتُهَا وَقُلْتُ لَهَا: خُذِيْ مِنْ يَدِ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ! قَاَلتْ: فَأَخَذَتْ فَشَرِبَتْ شَيْئاً.
“Sesungguhnya akulah yang menemani dan mendandani ‘Aisyah. Kemudian aku mendatangi Rasulullah, aku panggil beliau, tidak lama kemudian beliau datang, lalu duduk di samping ‘Aisyah. Seorang pelayan menyuguhkan gelas besar berisi susu kepada beliau. Setelah beliau meminumnya sedikit, lalu menyerahkannya kepada ‘Aisyah, tetapi ia merasa malu dan menundukkan kepala. Melihat itu aku bentak ‘Aisyah dan aku berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka akhirnya ia mau mengambil gelas itu dan meminumnya sedikit.” [2]
Disunnahkan bagi suami untuk meletakkan tangannya di atas dahi isteri seraya menyebut Nama Allah Ta'ala dan mendo’akannya dengan keberkahan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, maka hendaklah ia memegang dahinya seraya menyebut Nama Allah Azza wa Jalla dan berdo’a keberkahan dengan membaca:
اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau ciptakan padanya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang Engkau ciptakan padanya.’” [3]
Disunnahkan bagi keduanya untuk shalat dua raka’at secara berjama’ah, karena hal tersebut telah dicontohkan oleh para Salaf. Ada dua atsar yang menjelaskan tentang hal tersebut :
Pertama:
Dari Sa’id, maula (budak yang dibebaskan) Abu Usaid, ia berkata.
تَزَوَّجْتُ وَأَنَا مَمْلُوْكٌ، فَدَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِمُ ابْنُ مَسْعُوْدٍ وَأَبُو ذَرٍّ وَحُذَيْفَةُ، قَالَ: وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ، قَالَ: فَتَقَدَّمْتُ بِهِمْ وَأَنَا عَبْدٌ مَمْلَوْكٌ، وَعَلَّمُوْنِيْ فَقَالُوْا: إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلِ اللهَ مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ ثُمَّ شَأْنُكَ وَشَأْنُ أَهْلِكَ.
“Aku menikah ketika statusku masih sebagai budak. Aku mengundang beberapa Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah Radhiyallahu anhum. Ketika terdengar iqamat shalat aku maju sebagai imam padahal statusku waktu itu masih sebagai seorang budak. Setelah selesai shalat, mereka mengajariku seraya berkata, ‘Apabila isterimu telah menemuimu, maka shalatlah dua raka’at, kemudian mohonlah kepada Allah Ta’ala dari kebaikan isterimu yang akan dipertemukan denganmu, dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari kejahatannya. Selanjutnya terserah kamu dan isterimu.’” [4]
Kedua:
Dari Syaqiq ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki bernama Abu Hariz seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku telah menikahi seorang gadis dan aku takut kalau dia membenciku.’ Maka ‘Abdullah (yaitu ‘Abdullah bin Mas’ud) berkata, ‘Sesungguhnya rasa kasih itu dari Allah dan kebencian itu dari syaitan, ia ingin kalian benci terhadap apa yang Allah halalkan bagi kalian. Maka jika engkau dipertemukan dengan isterimu ajaklah ia agar shalat di belakangmu dua raka’at.’” Dalam riwayat yang lain ada tambahan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Kemudian berdo’alah kepada Allah dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اللّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ بِخَيْرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ.
‘Ya Allah, berkahilah aku pada keluargaku dan berkahilah keluargaku pada diriku. Ya Allah, himpunlah kami dalam kebaikan dan jika Engkau memisahkan kami, pisahkanlah kami dalam kebaikan.’” [5]
Dan tatkala hendak menggauli isteri hendaknya ia berdo’a:
بِسْمِ اللهِ، اللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Dengan menyebut Nama Allah, Ya Allah jauhkanlah syaitan dari kami dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau akan anugerahkan kepada kami.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنْ قُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا.
“Maka jika ditakdirkan dari hubungan keduanya itu menghasilkan seorang anak, syaitan tidak akan mengganggunya selamanya.” [6]
Diperbolehkan bagi suami untuk mendatangi isterinya (berjima’) dari arah mana saja yang ia kehendaki selama tetap pada arah kemaluannya, baik dari arah depan maupun bela-kang, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. " [Al-Baqarah: 223]
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كَانَتِ الْيَهُوْدُ تَقُوْلُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا فِيْ قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلُ. نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Orang Yahudi beranggapan bahwa apabila seorang laki-laki menyetubuhi isterinya melalui arah belakang, maka anaknya akan bermata juling. Lalu turunlah firman Allah Ta'ala yang artinya, 'Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu bagaimana saja kamu kehendaki' [Al-Baqarah: 223].” [7]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ، وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلاً عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لاَ يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلاَّ عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ، فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ، وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْـشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَـرًا، وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلاَتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنَ اْلأَنْصَارِ، فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ، وَقَالَتْ: إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلاَّ فَاجْتَنِبْنِي، حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عزوجل: ((نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ)) أَيْ مُقْبِلاَتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ.
“Kaum Anshar pada mulanya adalah ahli watsan (penyembah berhala), sedangkan golongan lainnya adalah orang-orang Yahudi yang merupakan ahli kitab. Orang-orang Anshar berpandangan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai keutamaan lebih dari mereka dalam hal ilmu. Oleh sebab itu, dalam kebanyakan hal, orang-orang Anshar mengikuti cara-cara mereka. Tersebutlah bahwa termasuk perkara ahli kitab ialah mereka tidak menda-tangi isteri-isterinya melainkan hanya dengan satu posisi saja, cara yang demikian lebih menutupi tubuh si isteri. Lalu orang-orang Anshar meniru cara mereka dalam hal tersebut. Sedangkan kebiasaan orang-orang Quraisy dalam mendatangi isterinya memakai berbagai macam cara dan posisi yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Anshar. Mereka menikmati persetubuhannya dengan isteri-isteri mereka secara maksimal, baik dari arah depan, belakang, dengan cara terlentang dan lain sebagainya. Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, lalu seseorang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari kalangan Anshar. Selanjutnya si lelaki itu melakukan terhadapnya sebagaimana ia biasa melakukannya dengan berbagai macam posisi, tetapi isterinya yang Anshar itu menolak dan mengatakan, ‘Sesungguhnya kebiasaan yang berlaku di kalangan kami, kami biasa didatangi dari arah depan saja, maka lakukanlah itu! Jika engkau tidak mau, maka menjauhlah dariku. Kemudian perihal keduanya tersebar, akhirnya sampailah berita itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: ‘Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu bagai-mana saja kamu kehendaki.’ [Al-Baqarah: 223] yaitu dari arah depan, belakang maupun dengan terlentang selama tetap ke arah tempat dilahirkannya anak (kemaluan).” [8]
Dan diharamkan bagi suami untuk menggauli isteri pada duburnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِيْ دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
“Barangsiapa yang menggauli isterinya dalam keadaan haidh atau pada duburnya atau mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (al-Quran).” [9]
Hendaknya niat seseorang dalam pernikahan adalah untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dan sesungguhnya persetubuhan antara suami isteri mengandung nilai sedekah bagi keduanya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
Bahwasanya beberapa Sahabat pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan banyak membawa pahala. Selain bisa shalat dan puasa seperti kami, mereka juga bisa menyedekahkan kelebihan hartanya.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran adalah sedekah dan pada kemaluan salah seorang dari kalian juga ada sedekah.” Para Sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah benar salah seorang di antara kami yang melampiaskan nafsu seksualnya itu bisa mendapatkan pahala?” Rasulullah bersabda, “Bukankah jika ia melampiaskannya pada yang haram, maka ia akan berdosa? Demikian pula kalau ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia pun mendapat pahala.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1619)], Shahiih Muslim (II/1039, no. 1423), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1099) tanpa kalimat yang di tengah, Sunan an-Nasa-i (VI/130) tanpa kalimat yang terakhir, Sunan Ibni Majah (I/641, no. 1990).
[2]. Al-Humaidi (I/179, no. 367), Ahmad (VI/438,452,453,458) dengan lafazh yang panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan. Disebutkan oleh al-Albani dalam kitab ‘Aadaabuz Zifaaf.’
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah, (no. 1557)], Sunan Abi Dawud (VI/196, no. 2146), Sunan Ibni Majah (I/617, no. 1918).
[4]. Sanadnya Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 22], Ibnu Abi Syaibah (IV/ 311).
[5]. Sanadnya shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 23], Ibnu Abi Syaibah (IV/ 312).
[6]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/228, no. 5165), Shahiih Muslim (II/1058, no. 1434), Sunan Abi Dawud (VI/197, no. 2147), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1098), Sunan Ibni Majah (I/618, no. 1919).
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/189, no. 4528), Shahiih Mus-lim (II/1058, no. 1435), Sunan Abi Dawud (VI/203, no. 2149), Sunan Ibni Majah (I/620, no. 1925).
[8]. Sanadnya Hasan: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 28], Sunan Abi Dawud (VI/ 204, no. 2150).
[9]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2006)], Sunan Ibni Majah (I/209, no. 639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no. 135), Sunan Abi Dawud (X/398, no. 3886).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2588)], Shahiih Muslim (II/697, no. 1006).
http://almanhaj.or.id/content/1316/slash/0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar