Tauhid Al-Asma’ Wash Shifat. Kaidah Tentang
Sifat-Sifat Allah Jalla Jalaluhu Menurut Ahlus Sunnah
Keenam:
TAUHID AL-ASMA' WASH SHIFAT
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas Diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsauri tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:
أَمِرُّوْ هَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفَ.
“Perlakukanlah Sifat-Sifat Allah secara apa adanya dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanyakan tentang bagaimana sifat itu).” [1]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
آمَنْتُ بِاللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ.
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah”[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif [3] dan ta’thil [4] serta tanpa takyif [5] dan tamtsil [6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuura: 11]
Lafazh ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ “Tidak ada yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan (mengingkari) Sifat-Sifat Allah.
I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:
Pertama: Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua nama dan sifat kekurangan secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Kedua: Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.” [7]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menye-lewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayat-Nya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula menyamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya, serta Allah tidak dapat diqiyaskan dengan makhluk-Nya.
Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dia-lah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Mahasuci Rabb-mu, Yang memiliki keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam.” [Ash-Shaffaat: 180-182]
Allah Azza wa Jalla dalam ayat ini menyucikan Diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa Jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]
Dalam menuturkan Asma’dan Sifat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memadukan antara an-nafyu wal itsbat (menolak dan menetapkan) [9]. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathul Mustaqiim), jalannya orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada' dan shalihin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiiqiin, para syuhadaa’ dan para shaalihiin. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” [An-Nisaa': 69]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpegang dan menempuh jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Dengan berpegang kepada jalan ini, maka sempurnalah nikmat yang mereka dapatkan berupa ‘aqidah, adab dan akhlak. Adapun orang-orang yang menempuh selain jalan mereka, maka mereka pasti akan menyimpang dalam masalah ‘aqidah, adab dan akhlak.[10]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitaabus Sunnah (no. 313), al-Lalika-i (no. 930). Lihat Fatawa Hamawiyyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiri dan Mukhtasharul ‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih. Lihat Fat-hul Baari (XIII/407).
[2]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan Syarahnya (hal. 36) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan ar-Risalah al-Madaniyah (hal. 27) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq al-Walid bin ‘Abdir-rahman al-Furayyan.
[3]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif adalah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang seperti-nya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya. Lihat Syrahul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-102) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alwi as-Saqqaf, at-Tanbiihaatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’aanil Waasithiyah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman (hal. 80-94).
[7]. Lihat Minhaajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam Al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam Al-Qur-an secara garis besarnya menolak adanya ke-samaan atau keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam Al-Qur-an bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwi as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 19-21).
Ketujuh:
KAIDAH TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH JALLA JALALUHU MENURUT AHLUS SUNNAH
Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang Diri-Nya ada dua macam: Sifat Tsubutiyyah dan Sifat Salbiyyah.
Pertama: Sifat Tsubutiyyah
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya di dalam Al-Qur-an atau melalui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (ber-kuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.
Sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli.
Sifat Tsubutiyyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.
Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Hayaah (hidup), Kalam (berbicara): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan): ‘Uluw (ketinggian, di atas makhluk): ‘Azhamah (keagungan). Dan yang termasuk dalam sifat ini adalah Sifat Khabariyyah seperti adanya wajah, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyyah adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla, seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan Nuzul (turun) ke langit terendah, atau pun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
“Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr: 22]
Suatu sifat bisa menjadi sifat dzaatiyyah-fi’liyyah ditinjau dari dua segi, yaitu asal (pokok) dan perbuatannya. Seperti sifat Kalaam (pembicaraan), apabila ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi jika ditinjau dari segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah karena terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki jika Dia menghendaki.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah.” [Yaasiin: 82]
Setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyii-ah (kehendak-Nya) adalah mengikuti hikmah-Nya. Hikmah ini terkadang dapat kita ketahui, tetapi terkadang tidak mampu kita pahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya, itu pun sesuai hikmah-Nya. Seperti yang Allah isyaratkan melalui firman-Nya:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali jika Allah kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” [Al-Insaan: 30]
Kedua: Sifat Salbiyyah
Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya melalui Al-Qur-an atau sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan ter-cela bagi Allah, contohnya; maut (mati, tidak hidup), naum (tidur), jahl (bodoh), nis-yan (kelupaan): ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kecapekan, kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan (ditolak) dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara sempurna. Misalnya, menafikan maut (mati) dan naum (tidur) berarti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Mahahidup dengan sempurna, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Mahamengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.[1]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbiihatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah minal Mabaahiits al-Muniifah (hal. 40, 47) oleh Syaikh as-Sa’di, al-Qawaa’idul Mutsla fii Shifaatilaahi wa Asmaa-ihil Husnaa (hal. 59-63) oleh Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Khalil Hiras (hal. 159-160) dan Madkhaal lidiraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 91-92).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar