Ya Allah… Teguhkan Aku di atas Agamamu
Entah pelajaran apa yang kupetik semua masih abstrak. Tertutup oleh kabut kebodohan. Aku mengerti hidup ini begitu merumitkan. Hidup bergerak dinamis dan langgeng dengan perubahan. Semuanya, semua sisi kehidupan sosial, budaya, teknologi, politik, idiologi, dan mendalami jiwa sendiri. Semuanya harus dipikirkan. Dan itu menusuki kepalaku. Semakin aku banyak berpikir, maka semakin banyak ranting yang memenuhi kepalaku. Apa seharusnya ku tidak berpikir sama sekali? Yah… begitulah ibuku bilang. Hidup ini jangan terlalu dipikirkan biarkan mengalir apa adanya. Ah… aku bukan tipe seperti itu.
Ada sebuah pertarungan hebat yang sangat sulit untuk kutaklukan. Bertarung dengan pikiran, jiwa, dan kepribadanku sendiri. Sebuah pertarungan besar. Menadalami jiwaku, mengerti hakikat diriku, dan mengubahnya menjadi lebih berharga adalah sebuah tantangan hebat. Aku tidak tahu apakah diriku yang berlebihan. Bukankah seharusnya aku dapat memilih apa yang harus kupikirkan dan mana yang tak penting dipikirkan. Benar, kan?
I fake nice! Berpura pura merasa tidak terjadi apapun. Tapi aku tak mampu! Aku tak mampu berpura pura tersenyum. Senyumku hambar! Tak ada makna! Kosong! Senyumku refleksi dari kebatrakan jiwaku.
Aku bertarung dengan realita. Aku seorang pemimpi dan harus melawan kenyataan!
Setelah Orientasi hidup kutemui, jalan itu menuju suatu kejayaan abadi sudah kupilih. Tapi…
Aku takut! Aku takut menghadapi masa depan.Aku takut terjatuh, aku takut tersungkur, aku takut terluka! Aku ingin tetap diam disini! Ditempat ini. Tak bergerak kemanapun.
Bodoh!
Waktu tak akan pernah diam, kecuali sang Maha Pemilik waktu menghentikannya. Bagaimana pun aku harus melewatinya. Bagaimanapun, berjalan atau tidak aku akan tetap terluka. Karena aku berdiri di atas tumpukkan kerikil tajam. Inilah kenyataannya! Inilah realitasnya! Hidup ini harus dihadapi dengan sebuah ketegaran bukan kelemahan!
Aku seorang muslimah.
Tidakkah itu suatu kemuliaan tersendiri? Aku dilahirkan dalam keadaan islam! Satu satunya agama yang diridhoi oleh Allah Azza Wa Jalla. Seharusnya aku bersyukur. Ya seharusnya seperti itu. Bukankah itu sebuah kebanggan menjadi seorang muslimah? Tapi kenapa? Kenapa aku tak dapat menjaga predikat muslimah?
Wanita….
Motor penggerak sebuah tatanan peradaban. Jika wanitanya baik maka baiklah peradaban itu. Jika wanitanya buruk, tunggulah kehancuran peradaban manusia, kira kira itulah yang pamanku katakan padaku. Sebuah tatanan masyarakat akan mejadi seimbang jika wanitanya menjaga kehormatan, kemuliaan, dan citra dirinya. Muslimahlah yang sanggup mengubah suatu tatanan yang tak bermorak menjadi peradaban yang menjunjung tinggi nilai – nilai islam. Mewujudkan janji Allah yang akan membuat islam kembali berjaya. Bukankah begitu seharusnya muslimah bergerak?
Sementara aku, berada di sudut ruangan. Diam. Tak bergeming. Bersama keremangan dan kegamangan jiwa. Hanya menyaksikan dnegan pilu mereka yang telah ikut dalam kereta kebangkitan. Aku masih dengan air mata. Aku masih dengan angan – angan kosong tanpa makna.
Entahlah…
Setidaknya aku ingin ikut dalam barisan itu. Aku ingin berada di tengah para mujahidah – mujahidah sejati. Tapi aku hanya seorang anak remaja lemah. Remaja yang takut menghadapi masa depan. Remaja yang takut merasakan perihnya sayatan luka. Karena sejatinya tanpa luka, berarti tak ada pengorbanan.
Ya allah… hamba ingin menolong agamamu. Hamba ingin menjadi yang terbaik di hadapanmu. Namun, apa hargaku ini? Mampu kah aku menahan tangis di pelupuk mataku, mampu kah aku menghalau futur yang senantiasa memupuskan harapanku, mampu kah aku menolak kenikmatan semu yang membiaskan akalku?
Mampukah? Duhai Allah tuhan yang maha pengasih. Segala kekuatan hanyalah milikmu.
Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik
Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu….aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar