Khilafnya Hati Hamba
“Sesungguhnya Allah taala membentangkan tanganNya pada waktu malam untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu siang, dan Ia membentangkan tanganNya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu malam, sehingga matahari terbit dari arah barat ( sampai kiamat ).” (HR. Muslim)
Kita, khususnya saya seringkali khilaf. Dan fitrahnya manusia adalah melakukan kekhilafan dan kelalaian. Tapi bukan berarti hal tersebut dapat melegalkan seorang hamba untuk terus mengulangi kesalahan yang salam.
Meskipun hanya terbersit di dalam hati, menganggap diri paling benar hanya karena mengetahui sekelumit ilmu. Padahal sungguh, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Hanya Allah penggenggam perbendaharaan langit dan bumi. Rabbighfirlii…Bukan masanya lagi untuk kita menilai apa yang terlihat. Ketika kita melihat si Fulan menyantuni anak yatim piatu, lalu di liput oleh media. Lantas, apa kita bisa menilainya sebagai si tukang pamer?? Belum tentu kawan. Bisa jadi dia tidak tahu jika apa yang dilakukannya itu di liput oleh media atau memang sengaja dia memberitahukan kepada khayalak perihal santunan tersebut untuk memberikan contoh kepada masyarakat untuk bisa di ikuti. Menerbitkan kepekaan hati agar yang lainnya dapat mengetahui bahwa ada di luar sana yang masih sangat membutuhkan bantuan.
Semua ini kembali pada niat. Niat yang membuat seseorang menjadi berharga atau biasa saja di mata Allah. Niat yang menjadi hubungan pribadi antara sang hamba dengan Sang Khaliq. Niat yang hanya Allah dan hamba saja yang mengetahui. Niat yang tersembunyi jauh di dalam lubuk hati. Karena Allah yang Maha Mengetahui apa-apa yang tersirat di dalam hati hambaNya.
“Sesunggguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.” (Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abdul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy An-Naisaburi, di dalam kedua kitab tershahih di antara semua kitab hadits).
Dan niatlah yang menjadi ukuran seorang hamba khilaf atau tidak. Mungkin secara fisik kita melihat seseorang sedang melakukan kesalahan tapi semua itu belum tentu sesuai dengan prasangka. Apa yang terlihat belum tentu tepat. Apa yang terdengar belum tentu benar. Kita bisa mengklarifikasi dengan orang tersebut secara langsung atau jika kita belum mampu berbicara yang baik dan benar, baiknya kita diam saja.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah memperbanyak prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.” (QS. AL Hujuraat: 12)
Allah yang patut memberikan justifikasi kepada hambaNya. Bagaimanapun keadaan hambaNya. Kita hanya bisa berintrospeksi, melakukan yang terbaik sesuai dengan kehendak Allah bukan kehendak manusia. Dan tak lupa kita serahkan raga dan hati kita hanya kepada Allah. Supaya semua yang kita lakukan selalu dalam petunjukNya, selalu dalam ridhoNya dan selalu dalam naunganNya.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. (QS. Ali Imran: 135)
Karena sifat hati silih berganti, kadang baik kadang khilaf. Manusia tak kuasa mengaturnya, hanya sanggup berserah diri. Semoga ketika hati ini sedang baik, Allah selalu ada di hati, detak nafas dan tiap perbuatan dan di saat khilaf segera di ingatkan Allah untuk secepatnya menyadari kesalahan. Semoga kita terlindung dari segala macam prasangka.
Allahua’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/17578/khilafnya-hati-hamba/#ixzz1xTXHMckL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar