Innamal A'malu Bin Niyat
http://abumushlih.com
INNAMAL A'MALU BIN NIYAT
by Abu Mushlih December 17, 2009
Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan : Aku mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan
mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah
karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.”
(HR.
Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa
an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no.
1907]).
Faedah hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,
“Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan
dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu.
Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwasegala amal yang
dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu
akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan,
“Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak
akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu
dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan
-bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh
dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam
al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah
as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkantidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Macam-macam niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar.
Dengan niat semacam ini akan terbedakan
antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan
terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya.
Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam
hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak
memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah,
mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata
iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan
Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum
dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari
Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.”(QS. al-Mulk : 2).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.”(QS. al-Mulk : 2).
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu‘yang paling ikhlas dan paling benar’.
Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima.
Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima.
Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di
atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat
al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan
Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu
Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun
berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui
diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada
mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang
mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka.
Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak
mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan,“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullahberkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.”(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya
mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan
kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada
awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi
ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar
karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit
hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah
suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan,”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang
benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta
tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat
dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
”Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah
cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah
buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan
maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak
enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah
ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah
akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas
dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya
adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia
dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana
buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk
dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun
syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati
yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah
gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di
akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan,
“Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling
mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi
keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya
mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun
kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid
al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar