Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)
Pernikahan seringkali harus ditempuh dalam kurun
yang cukup panjang dalam kehidupan seseorang. Pada kasus beberapa orang, ada
yang sangat diberi kemudahan oleh Allah dalam menggapainya. Akan tetapi, pada
beberapa orang yang lain, dia kerapkali harus jungkir balik menghadapi banyak
rintangan dalam menggapai mahligai pernikahan.
Salah satu rintangan yang banyak dihadapi oleh
pejuang pernikahan adalah penolakan. Penolakan oleh calon pasangan bisa
disebabkan karena faktor ketidakcocokan dari segi agama; rupa; harta; maupun
lainnya. Andaikata yang mengalami ujian penolakan ini bersikap “biasa saja”,
tentu tidaklah mengapa. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang merasa kecewa
bahkan hingga mencapai tahap putus asa. Lalu, bagaimanakah solusinya?
1. Menyikapi suatu masalah dengan sudut
pandang ilmu syariat
Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.
Pola pikir dan sudut pandang seseorang, sangat menentukan bagaimana respon orang tersebut dalam menyikapi sebuah problema. Apabila dia meluruskan mindset dengan benar, maka -Insya Allah- tidak akan timbul respon tragedi yang bernama “deraan rasa kecewa dan putus asa”.
Pola pikir yang benar untuk menghadapi hal semacam
ini, yakni pola pikir yang dilandasi dengan ilmu syari’at, sehingga akan
menghasilkan akal yang jernih; hati yang sehat dan sikap yang tepat dalam
menyikapi suatu kejadian. Pola pikir inilah yang mencerminkan kedalaman ilmu
agamanya, kokohnya iman dan takwa yang begitu kuat terhujam mengakar di
dadanya. Maka, pasung dan perangilah pola pemikiran yang hanya berlandaskan
emosi negatif dan sudut pandang melankolisme semata. Respon kejadian berupa
perasaan sedih dan sahabat-sahabatnya, merupakan hal yang manusiawi jika hanya
untuk sesaat. Akan tetapi, jika dibiarkan berlarut-larut malah bisa membuka pintu
maksiat.
2. Bersikaplah ridha, sabar, tawakkal
Perkara jodoh memang sudah ditakdirkan. Jodoh
termasuk perkara rizki seseorang, dan penetapan rizki seseorang sekaligus
takdir atas semua makhluk Allah ini memang telah usai pencatatannya di Al-Lauh
Al-Mahfuzh 50.000 tahun sebelum Allah mencipta alam semesta.
Takdir seseorang itupun juga sudah ditentukan di
catatan malaikat, ketika orang tersebut masih dalam kandungan ibunda pada usia
4 bulan di dalam kandungan. Maka, sungguh beruntung orang-orang yang dimudahkan
mengimani Qadha dan Qadar yang telah menjadi ketetapan bagi dirinya, hingga dia
pun bisa merasakan manfaatnya yang besar tiada terkira.
Salah satu manfaat beriman kepada Qadha dan Qadar, Anda
meyakini bahwa kejadian penolakan itu sudah Allah tetapkan di Al-Lauh
Al-Mahfuzh sana. Betapapun Anda sudah mati-matian berusaha dan berdo’a.
Disamping itu, kejadian penolakan itu sudah berada dalam catatan takdir Anda
yang dipegang oleh malaikat.
Kalimat ini tidak membawa konsekuensi adanya
penafian usaha manusia, atau saran kepada manusia agar tidak usah berusaha
saja, sehingga hamba bisa bermalas-malasan dalam menghadapi segala sesuatu
hanya karena alasan “toh sudah ditakdirkan.” Tidak…sama sekali bukan begitu.
Statemen ini justru digunakan untuk membuka cakrawala pemikiran seseorang,
bahwa apa yang Allah takdirkan bagi Anda pasti menimpa Anda, tiada pernah
sekejap pun luput dari Anda. Begitu pula sebaliknya, Anda tidak akan pernah
bisa mendapat apa yang Allah tidak takdirkan bagi Anda.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ
وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ
تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(23)
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ(24)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang
kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.” (Qs. Al-Hadid: 22-24)
Manfaat lain iman terhadap Qadha dan Qadar, supaya
Anda bisa lebih bersabar; bersyukur; dan ridha terhadap segala sesuatu yang
menimpa diri Anda. Bukan hanya bisa terlalu bersedih dan dirundung duka ketika
ada musibah datang melanda. Kalau Anda sudah menyadarinya, kenapa pula Anda
harus berduka terhadap sesuatu yang memang sudah ditakdirkan olehNya?? Tidak
perlu terlalu risau dan cemas terhadap masa depan Anda, teruslah berdoa;
berusaha; bertawakkal dan bersabar; serta ridha pada segala ketetapanNya.
Berjuanglah dengan gigih, niscaya Anda akan
dipermudah dalam menempuh apa yang Allah takdirkan bagi diri Anda -Insya
Allah-
عن أبي الزبيرعن جابر قال جاء سراقة بن
مالك بن جعشم قال يارسول الله بين لنا ديننا كأنا خلقنا الآن فيما العمل اليوم
أفيما جفت به الاقلام وجرت به المقادير ام فيما نستقبل قال لا بل فيما جفت به
الاقلام وجرت به المقادير قال ففيم العمل قال زهير ثم تكلم أبو الزبير بشئ لم
افهمه فسألت ما قال؟ فقال: اعملوا فكل ميسر
Dari Abu Az-Zubair, dari Jabir radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Suraqah ibn Malik ibn Ju’syum datang ke hadapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah pada kami
mengenai perkara agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan saat ini, yaitu
mengenai amal perbuatan kami hari ini, apakah amalan tersebut berdasarkan pada
apa yang tertulis oleh tinta pena yang telah mengering [1] dan berdasar pada
takdir-takdir yang telah ditetapkan, ataukah berdasarkan apa yang akan kita
hadapi?”
Zuhair berkata, “Lalu Abu Az-Zubair berkata sesuatu yang tidak saya mengerti.”, maka saya pun bertanya,”Apa yang Rasulullah ucapkan?”. Kemudian Abu Zubair menjawab, “beramallah! Karena semuanya telah dimudahkan.” (HR.Muslim, no.2648)
Zuhair berkata, “Lalu Abu Az-Zubair berkata sesuatu yang tidak saya mengerti.”, maka saya pun bertanya,”Apa yang Rasulullah ucapkan?”. Kemudian Abu Zubair menjawab, “beramallah! Karena semuanya telah dimudahkan.” (HR.Muslim, no.2648)
3. Bertakwa
Ketakwaan insan, membuahkan manfaat yang sangat
banyak. Salah satu manfaat takwa adalah: Allah akan memberikan jalan keluar
untuk problematika yang dia hadapi, dan Allah akan memberikan rizki baginya
dari arah yang tidak dia sangka.
…وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs.Ath-Thalaq: 2-3)
4. Jadilah mukmin yang kuat imannya dan
bermental baja
Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.
Dampak penolakan yang dirasakan laki-laki, biasanya lebih ringan dirasa bagi jiwa dibanding penolakan yang dirasakan wanita. Andaikata makhluk yang berjiwa halus (baca: wanita) ini ditolak, seringkali mereka merasa bak sedang terlempar ke dalam palung melankolisme, yang dalamnya tak bisa diungkap lewat untaian kata.
Berbagai rasa pun bersatu padu, menghasilkan
penyakit “pilu sendu yang mengharu biru”. Ada sejumput rasa sesak dalam dada;
sedih; kecewa; malu; menjadi rendah diri (minder); bahkan putus asa…Amboi,
sungguh komplit sekali rasanya…-Subhanallah-. Betul-betul perpaduan
emosi negatif yang sempurna! Duhai manusia..andai saja dia bisa bersikap tegar,
tabah, dan tegak berdiri dengan berlapang dada ketika penolakan itu menimpanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ
تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ
وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Akan tetapi, keduanya tetaplah memiliki
kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah
pada Allah, dan jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka
janganlah engkau katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian.’ Akan
tetapi hendaklah engkau berkata: ‘Ini sudah menjadi takdir Allah. Setiap apa
yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan “lau” (seandainya) dapat
membuka pintu setan.” (HR. Muslim no.2664, di dalam kitab Al-Qadar)
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah
telah menjelaskan maksud perkataan “mukmin yang kuat” dalam Syarh Riyadh
Ash-Shalihin,
المؤمن القوي: يعني في إيمانه وليس المراد
القوي في بدنه، لأن قوة البدن ضرراً على الإنسان إذا استعمل هذه القوة في معصية
الله، فقوة البدن ليست محمودة ولا مذمومة في ذاتها، إن كان الإنسان استعمل هذه
القوة فيما ينفع في الدنيا والآخرة صارت محمودة، وإن استعان بهذه القوة على معصية
الله صارت مذمومة
لكن القوة في قوله صلى الله عليه وسلم
المؤمن القوي أي قوي الإيمان، ولأن كلمة القوي تعود إلى الوصف السابق وهو الإيمان،
كما تقول الرجل القوي: أي في رجولته، كذلك المؤمن القوي يعني في إيمانه، لأن
المؤمن القوي في إيمانه تحمله قوة إيمانه على أن يقوم بما أوجب الله عليه، وعلى أن
يزيد من النوافل ما شاء الله….
“Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat adalah kuat
imannya, bukanlah yang kuat badannya. Karena kuatnya badan bisa membahayakan
manusia jika dia menggunakan kekuatannya ini untuk bermaksiat kepada Allah.
Kuatnya badan belum tentu mutlak terpuji ataupun tercela.
Apabila orang tersebut menggunakan kekuatan ini
dalam hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, maka kekuatan itu menjadi
suatu hal yang terpuji. Akan tetapi, jika kekuatan ini justru membantu dia
melakukan tindak maksiat terhadap Allah, maka kekuatan ini malah menjadi
tercela.
Akan tetapi, kata kuat yang dimaksud dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Mukmin yang kuat” yakni kuatnya
iman, karena kata kuat kembali kepada hal yang disifati sebelumnya, yaitu iman.
(kata “kuat” di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
digunakan untuk menyifati mukmin, dan kata “mukmin” artinya orang yang beriman,
sehingga kata kuat ini menyifati keimanan yang ada pada diri orang yang
beriman. -pen).
Sebagaimana ketika Anda berkata, “Seorang lelaki
yang perkasa.” yakni kuat dalam hal kejantanannya. Begitupula berkenaan dengan
kata mukmin yang kuat, maka kuat yang dimaksud adalah keimanannya, karena
seorang mukmin yang kuat imannya akan mampu melakukan kewajiban yang Allah
limpahkan kepada dirinya, dan dia mampu menambah ibadah sunnahnya sesuai dengan
yang Allah kehendaki bagi dirinya.”
Oleh karena itu, buktikan dan tunjukkanlah sikap
seorang yang kuat imannya, “Baiklah, saya memang ditolak….tapi saya berusaha
mengendalikan diri saya untuk tetap tegar, lapang dada, sabar dan ridha ! Saya
tetap bisa menjalani hari-hari saya tanpa rasa kecewa Insya Allah.
Saya mukmin yang ingin dicintaiNya dan saya merasa bahagia terhadap segala yang
Allah tetapkan bagi diri saya…karena apapun ketetapanNya, itulah yang terbaik
bagi saya.”
عن صهيب قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ
لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik
dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika
dia diberi kenikmatan/ kesenangan, dia bersyukur maka ini menjadi kebaikan
baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan),
dia bersabar, maka ini pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999 )
——–
[1] Yang dimaksud dengan “ keringnya pena” ada
beberapa keterangan ulama sebagai berikut:
a)
أَيْ مَضَتْ بِهِ الْمَقَادِير ، وَسَبَقَ
عِلْم اللَّه تَعَالَى بِهِ ، وَتَمَّتْ كِتَابَته فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ ،
وَجَفَّ الْقَلَم الَّذِي كُتِبَ بِهِ ، وَامْتَنَعَتْ فِيهِ الزِّيَادَة
وَالنُّقْصَان
“Penetapan takdir seluruh makhluk telah terjadi,
pengetahuan Allah telah mendahuluinya, telah sempurna penulisan takdir di
Al-Lauh Al-Mahfuzh, dan telah kering tinta pena yang digunakan untuk menulis
lembaran takdir, sehingga tidak mungkin mengalami penambahan dan pengurangan.”
(Syarh Muslim li An-Nawawi)
b)
( جَفَّ الْقَلَمُ )
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …
إِشَارَة إِلَى أَنَّ الَّذِي كُتِبَ فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ لَا يَتَغَيَّر حُكْمه ، فَهُوَ كِنَايَة عَنْ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة ؛ لِأَنَّ الصَّحِيفَة حَال كِتَابَتهَا تَكُون رَطْبَةً أَوْ بَعْضهَا وَكَذَلِكَ الْقَلَم فَإِذَا اِنْتَهَتْ الْكِتَابَة جَفَّتْ الْكِتَابَة وَالْقَلَم ، وَقَالَ الطِّيبِيُّ هُوَ مِنْ إِطْلَاق اللَّازِم عَلَى الْمَلْزُوم ؛ لِأَنَّ الْفَرَاغ مِنْ الْكِتَابَة يَسْتَلْزِم جَفَاف الْقَلَم عِنْد مِدَادِهِ . قُلْت : وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنْ كِتَابَةَ ذَلِكَ اِنْقَضَتْ مِنْ أَمَدٍ بَعِيدٍ . وَقَالَ عِيَاض : مَعْنَى جَفَّ الْقَلَم أَيْ لَمْ يَكْتُب بَعْد ذَلِكَ شَيْئًا …
“Mengisyaratkan bahwa hukum segala sesuatu yang
telah ditulis di Al-Lauh Al-Mahfuzh tidak akan berubah. Kalimat ini merupakan
ungkapan yang menunjukkan telah selesainya pencatatan takdir. Karena lembaran
kertas ketika dalam proses ditulisi umumnya masih basah. Demikian pula tinta
pena, ketika penulisan telah selesai maka catatan dan tinta pena akan
mengering. Ath-Thibi berkata, “lafazh “keringya pena” ini berisi konsekuensi
sebab akibat, karena tuntasnya pencatatan takdir pasti mengakibatkan keringnya
tinta pada pena pencatat takdir. Ibn Hajar berkata, “di dalam lafazh ini
terdapat isyarat bahwa pencatatan takdir telah usai dalam rentang waktu yang
lama. ‘Iyadh berkata, “makna keringnya pena yakni pena tersebut tidak akan lagi
digunakan untuk mencatat lagi takdir apapun.” (Fathul Bari)
-Bersambung Insya Allah-
***
Penulis: Fatih Daya Khairani
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Syarh Riyadh Ash-Shalihin min kalam Sayyid Al-Mursalin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Prof Abdullah Ath-Thayyar, Darul Wathan, Riyadh-KSA, 1996
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, Imam An-Nawawi dengan tahqiq: Syaikh Khalil Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, Beirut-Libanon,1997
3. Al-Qur’an terjemahan Depag
4. Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Ibn Katsir, Bogor, 2005
5. Al-Kaba’ir Ma’a Syarh, Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-’Utsaimin dengan tahqiq: Abu ‘Abdirrahman ‘Adil ibn Sa’ad, Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 2006
6. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-KSA, 2005
7. Syarh Nawaqidh Al-Islam, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir Al-Barrak, dalam format pdf yang diperoleh dari www.islamlight.net
8. Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani dengan tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz dan tarqim: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Darul Hadits, Kairo, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar