Manfaat dan Keutamaan Mengikuti Manhaj (Metode Pemahaman) Salaf
بسم الله
الرحمن الرحيم
الحمد
لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
Oleh
: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni
Manhaj salaf adalah
satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman
dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap
menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Allah berfirman:
{وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ}
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang
muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).
Dalam ayat lain, Allah ‘Azza Wa Jalla memuji keimanan para sahabat Radhiyallahu
‘Anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya:
{فَإِنْ
آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ}
“Dan
jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah
mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar)” (QS. Al Baqarah: 137).
Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan
masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah”. Dalam riwayat
lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan
petunjuk para sahabatku” ([1]).
Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan
di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita
akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ‘Azza Wa Jalla
janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka
(para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum), kemudian generasi yang datang setelah
mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka” ([2]).
Ketika menjelaskan makna hadits di atas Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi
yang terbaik secara mutlak([3])
adalah generasi di masa Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (para sahabat
Radhiyallahu ‘Anhum), dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam
seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya)
dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan
dinamakan (oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai) generasi yang
terbaik secara mutlak”([4]).
Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, berikut ini kami akan menyebutkan
dan menjelaskan beberapa contoh/point penting yang menunjukkan besarnya manfaat
dan keutamaan yang bisa kita capai dengan berusaha memahami dan mengamalkan
manhaj salaf dengan baik dan benar, serta mustahilnya mencapai semua itu dengan
mengikuti selain manhaj yang benar ini:
1-
Keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama di dunia dan akhirat
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
{يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا
يَشَاءُ}
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim:27).
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan
oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Seorang muslim ketika
ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi
bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan
bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah utusan Allah (Muhammadur
Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: {Allah meneguhkan (iman) orang-orang
yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat}”([5]).
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan
dalam agama hanyalah Allah ‘Azza Wa Jalla anugrahkan kepada orang beriman yang
memiliki ‘ucapan yang teguh’, yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan
diamalkan dengan baik dan benar.
Maka berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu keutamaan
dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak diragukan lagi hanya
manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang benar-benar memberikan perhatian
besar kepada pemahaman dan pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan
benar, dengan selalu mangutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (Laa Ilaaha
Illallah), keutamaannya, kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan
keras untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan
dengan tauhid.
Demikian pula perhatian besar manhaj salaf terhadap kalimat
syahadat (Muhammadur Rasulullah), dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang
keindahan dan kesempurnaan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan semua
perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Al Firqatun Naajiyah (golongan yang
selamat dari ancaman azab Allah ‘Azza Wa Jalla/orang-orang yang mengikuti
manhaj salaf) adalah orang-orang yang (sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu
mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon
keselamatan dalam keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar … dan
ibadah-ibadah lainnya …, serta keharusan menjauhi syirik dan
fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara Islam… Dan mereka
adalah orang-orang yang selalu menghidupkan sunnah- sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam ibadah, tingkah laku dan (semua sisi)
kehidupan mereka, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang asing
ditengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
yang menggambarkan keadaan mereka: “Sesungguhnya islam awalnya datang dalam
keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman) akan kembali asing, maka
beruntunglah (akan mendapatkan surga) orang-orang yang asing (karena berpegang
teguh dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam)” H.R Muslim. Dalam
riwayat lain: “… Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia
dalam keadaan rusak”. Berkata Syaikh Al Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad yang shahih”([6]).
2-
Meraih kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu melihat wajah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang Maha Mulia dan Maha Tinggi
Dalam
hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah ‘Azza Wa Jalla Berfirman: “Apakah
kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari
kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah
kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan
kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang
menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah
mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat
(wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala”, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam membaca ayat berikut: {للذين أحسنوا الحسنى وزيادة}
“Bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya (melihat wajah Allah ‘Azza Wa Jalla)” (QS Yunus:26) ([7]).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan”([8])
menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah
‘Azza Wa Jalla) adalah balasan yang Allah ‘Azza Wa Jalla berikan kepada orang
yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan
iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta
perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya([9]).
Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dalam sebuah hadits yang shahih: “Aku meminta kepada-Mu (ya
Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta
kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”([10]).
Dari keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat
mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan
kerinduan untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla merupakan buah yang paling utama
dari ma'rifatullah (pengenalan/pengetahuan yang benar dan
sempurna tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya), yang mana ma’rifatullah
yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mempelajari
dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza Wa Jalla dalam Al Qur-an dan
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan metode pemahaman yang
benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah/
manhaj Salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah ideologi golongan yang
selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah ‘Azza Wa Jalla sampai
hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah (orang-orang yang
mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir
Allah yang baik maupun yang buruk. Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini
Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah ‘Azza Wa Jalla
yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (dalam hadits-hadits yang shahih),
tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil
(menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan
tanpa tamtsiil (meyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah
wal jama’ah mengimani bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla:
{لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}
"Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat" (QS Asy Syuura:11).
Maka
Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi
diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya,
tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha
indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak
membagaimanakan/menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak meyerupakan sifat-Nya
dengan sifat makhluk. Karena Allah ‘Azza Wa Jalla tiada yang serupa, setara dan
sebanding dengan-Nya, Dia ‘Azza Wa Jalla tidak boleh dianalogikan dengan
makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang
makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding
(semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan
orang-orang yang berkata tentang Allah ‘Azza Wa Jalla tanpa pengetahuan. Oleh
karena itulah Allah ‘Azza Wa Jalla Berfirman:
{سبحان ربك رب
العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين}
“Maha
Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan
keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru
sekalian alam. (QS Ash Shaaffaat: 180-182).
Maka
(dalam ayat ini) Allah mansucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang
yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kemudian
Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan
dan celaan. Allah ‘Azza Wa Jalla telah menghimpun antara an nafyu
(meniadakan sifat-sifat buruk) dan al itsbat (menetapkan sifat-sifat
yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi
diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari
petunjuk yang dibawa oleh para Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena
itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah
‘Azza Wa Jalla, yaitu para Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para shiddiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh”([11]).
3-
Menggapai taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan kunci pokok
segala kebaikan
Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan
kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi
dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat
itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah
termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk
bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan
bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak
memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua
keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya
Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah
agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia
tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan kepada diri kita sendiri. Telah bersepakat al ‘Aarifun
(orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah ‘Azza Wa
Jalla kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan
(berpalingnya) Allah ‘Azza Wa Jalla dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat
bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita
kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya
Allah ‘Azza Wa Jalla dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita
(bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah ‘Azza Wa
Jalla)([12])…”([13]).
Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci pokok
segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang Allah kehendaki
(pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi,
yang ini merupakan kesimpulan makna iman kepada takdir Allah ‘Azza Wa Jalla
yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya manfaat
dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang benar terhadap
masalah takdir Allah ‘Azza Wa Jalla hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih
jelasnya, baca keterangan Ibnu Taimiyyah dalam “Al ‘Aqiidatul waasithiyyah”
(hal. 22) tentang lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah
iman kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang menyimpang
dari pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah.
4-
Mendapatkan semua kemuliaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan di akhirat
Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan kewajiban mengimani keberadaan Al Haudh
(telaga milik Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di akhirat nanti) yang
merupakan bagian dari iman kepada hari akhir, beliau berkata: “Penjelasan
tentang telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – semoga Allah
Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat – (yang
disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari
banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul
bid’ah yang berkeraskepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini.
Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga
tersebut (pada hari kiamat)([14]),
sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang mendustakan
(mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan
tersebut...”([15]).
Ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa semua kemuliaan
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan di akhirat, seperti kenikmatan di alam
kubur, meminum dari telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mendapatkan
syafa’at Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan orang-orang yang diizinkan
Allah ‘Azza Wa Jalla untuk memberikan syafa’at, bahkan termasuk dalam hal ini
kenikmatan di dalam surga, hanyalah Allah ‘Azza Wa Jalla anugrahkan kepada
orang-orang yang tidak mengingkari dan mengimaninya dengan benar. Ini juga
menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena hanya
dengan mengikuti manhaj salaflah kita bisa memahami dan mengimani hal-hal
tersebut dengan baik dan benar, sehingga orang-orang yang memahami dan
mengimani hal-hal tersebut berdasarkan manhaj salaf merekalah yang paling
diutamakan untuk meraih semua kemuliaan tersebut dengan sempurna. Adapun
orang-orang yang tidak memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan benar
karena tidak mengikuti manhaj salaf, maka mereka sangat terancam untuk
terhalangi dari mendapatkan kemuliaan-kemuliaan tersebut, minimal akan
berkurang kesempurnaannya, tergantung dari jauh-dekat pemahaman tersebut dari
pemahaman salaf.
Penutup
Contoh-contoh
di atas jelas sekali menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita
raih di dunia dan akhirat dengan mengikuti manhaj salaf, masih banyak contoh
lain yang tidak mungkin kami sebutkan semua. Semoga dengan contoh-contoh ini
kita semakin termotivasi untuk lebih giat mengkaji dan mengamalkan petunjuk
para ulama salaf dalam beragama, agar kita semakin sempurna mendapatkan manfaat
dan kebaikan yang Allah ‘Azza Wa Jalla sediakn bagi hamba-hambanya yang
menjalankan agamanya dengan baik dan benar.
Sebagai penutup, alangkah indahnya ucapan seorang penyair yang berkata:
Semua
kebaikan (hanya dapat dicapai) dengan mengikuti (manhaj) salaf
Dan semua keburukan ada pada perbuatan
bid’ah orang-orang khalaf ([16])
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, 5 Dzulqa’dah 1429 H
Abdullah bin Taslim (Irwan Sofyan) al-Buthoni
([1])
HR Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu
Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul ahaaditsish
shahihah” (no. 204).
([3])
Artinya kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan
menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama.
([5])
HSR Al Bukhari dalam “Shahih Al Bukhari” (no. 4422- cet. Daar Ibni Katsir,
Beirut, 1407 H). Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
“Shahih Muslim” (no. 2871- cet. Daar Ihya-it turats al ‘araby, Beirut).
([9])
Untuk lebih jelas pembahasan masalah ini, silahkan baca tulisan kami yang
berjudul “Indahnya Islam Manisnya Iman”. Dalam sebuah ucapannya yang terkenal
Ibnu Taimiyyah berkata: "Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga),
barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan
masuk ke dalam surga di akhirat nanti" (Al Waabilush shayyib 1/69).
([10])
HR An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al Musnad”
(4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al
Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh
Adz Dzahabi dan Sykh Al Albani dalam “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah”
(no. 424).
([12])
Oleh karena itulah Rasulullah r berlindung dari hal ini dalam doa beliau yang
terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan
petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau
membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”
(HR An Nasa-i dalam “As Sunan” (6/147) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no.
2000), dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan dihasankan
oleh Syaikh Al Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227).
([14])
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (no.
6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar