Harum semerbak bunga melati di taman puri
Dijadikan hiasan mahkota mempelai putri
Tanda/lambang kesucian dan kelembutan hati
Lembutnya hati bila berhiaskan Asma Ilaahi
Lembut tampaknya buih dihempas ombak
Terpukau mata seakan kabut yang berarak
Padahal buih sisa hempasan perasaan riak-riak
Banyak manusia seakan dirinya berakhlaq
Padahal hatinya senantiasa memberontak
Akui berhati lembut, ternyata keras berpijak.
Baru disadari ternyata diri banyak tertipu
Menyangka hati telah lembut
Menyangka diri telah beriman
Menyangka diri telah berbuat baik
Menyangka dan menyangka
Yang selalu diulang dan menjadi bayangan diri
Bukankah ini khayalan yang pasti?
Kini... terlihat batu telah berada dalam suatu proses
Ternyata batu yang keras bukan saja dapat dipecahkan
Melainkan dapat pula dihaluskan laksana tepung
Ternyata disini pulalah letak ketinggian mutunya karena telah berubah fungsi selaku penghalus dan pengokoh suatu bangunan.
Oh... inikah maksud pelajaran dari melembutnya sebongkah batu
Tertunduk wajah menyimpan rasa malu
Seulas cibiran menukik di diri sambil berkata.....
Batu yang keras saja ternyata sabar memproses diri
Lalu bagaimana diri ini: “HATI” hakikatnya
Telah tercipta dalam kondisi lembut
Tak mampu berproses menuju kelembutan
Mengapa diri tak merasa malu dengan kekerasan hati
Bukannya hati yang mengeras.... tetapi nafsulah yang menjadikan hati tampil mengeras
Sehingga tak mampu hati tersentuh kelembutan Ilaahi
Sehingga tak mampu hati menangkap isyarat berhikmah
Sehingga tak mampu hati bergetar dan menangis,
Bila diingatkan dan disentuh ayat-ayat Al Qur’an.
Oh alangkah keras dan membatunya hati...
Saudaraku yang dikasihi Allah, berdasarkan rangkaian dan untaian kata bermakna di atas, maka diri yang senantiasa bertafakur kepada Allah dapat mengenal dan mengetahui tingkat kekerasan hati pada setiap saat tertentu, karena tolok ukur yang digunakan telah disediakan yaitu: tersentuhnya hati apabila dikumandangkan ayat-ayat Al Qur’an. Tersentuhnya hati oleh ayat-ayat Al Qur’an sifatnya otomatis dan tidak dapat dibuat-buat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pertolongan dan petunjuk Allah mustahil hati yang keras itu dapat berubah menjadi lembut. Namun Allah-pun tidak akan membukakan si manusia itu tanpa ada upaya si manusia itu sendiri untuk membuka hatinya. Disinilah bukti bahwa Allah menjamin penuh kebebasan manusia untuk menentukan sikap terhadap kekerasan hati yang dimilikinya.
Suatu hal yang perlu disadari bahwa selamanya hati tak akan berfungsi bila tali rasa rusak dan mati.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dijadikan hiasan mahkota mempelai putri
Tanda/lambang kesucian dan kelembutan hati
Lembutnya hati bila berhiaskan Asma Ilaahi
Lembut tampaknya buih dihempas ombak
Terpukau mata seakan kabut yang berarak
Padahal buih sisa hempasan perasaan riak-riak
Banyak manusia seakan dirinya berakhlaq
Padahal hatinya senantiasa memberontak
Akui berhati lembut, ternyata keras berpijak.
Baru disadari ternyata diri banyak tertipu
Menyangka hati telah lembut
Menyangka diri telah beriman
Menyangka diri telah berbuat baik
Menyangka dan menyangka
Yang selalu diulang dan menjadi bayangan diri
Bukankah ini khayalan yang pasti?
Kini... terlihat batu telah berada dalam suatu proses
Ternyata batu yang keras bukan saja dapat dipecahkan
Melainkan dapat pula dihaluskan laksana tepung
Ternyata disini pulalah letak ketinggian mutunya karena telah berubah fungsi selaku penghalus dan pengokoh suatu bangunan.
Oh... inikah maksud pelajaran dari melembutnya sebongkah batu
Tertunduk wajah menyimpan rasa malu
Seulas cibiran menukik di diri sambil berkata.....
Batu yang keras saja ternyata sabar memproses diri
Lalu bagaimana diri ini: “HATI” hakikatnya
Telah tercipta dalam kondisi lembut
Tak mampu berproses menuju kelembutan
Mengapa diri tak merasa malu dengan kekerasan hati
Bukannya hati yang mengeras.... tetapi nafsulah yang menjadikan hati tampil mengeras
Sehingga tak mampu hati tersentuh kelembutan Ilaahi
Sehingga tak mampu hati menangkap isyarat berhikmah
Sehingga tak mampu hati bergetar dan menangis,
Bila diingatkan dan disentuh ayat-ayat Al Qur’an.
Oh alangkah keras dan membatunya hati...
Saudaraku yang dikasihi Allah, berdasarkan rangkaian dan untaian kata bermakna di atas, maka diri yang senantiasa bertafakur kepada Allah dapat mengenal dan mengetahui tingkat kekerasan hati pada setiap saat tertentu, karena tolok ukur yang digunakan telah disediakan yaitu: tersentuhnya hati apabila dikumandangkan ayat-ayat Al Qur’an. Tersentuhnya hati oleh ayat-ayat Al Qur’an sifatnya otomatis dan tidak dapat dibuat-buat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pertolongan dan petunjuk Allah mustahil hati yang keras itu dapat berubah menjadi lembut. Namun Allah-pun tidak akan membukakan si manusia itu tanpa ada upaya si manusia itu sendiri untuk membuka hatinya. Disinilah bukti bahwa Allah menjamin penuh kebebasan manusia untuk menentukan sikap terhadap kekerasan hati yang dimilikinya.
Suatu hal yang perlu disadari bahwa selamanya hati tak akan berfungsi bila tali rasa rusak dan mati.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar