Rabu, 02 Januari 2013

Bahaya Lisan



Bahaya Lisan

Bismillahirrahmaanirrahiimm

Sebelumnya mohon maaf tulisan ini hanyalah sekedar peredam hati bagi yang sedang dirundung amarah danpenyejuk bagi si sabar.

   Allah Subhanahu wa Ta’ala  menciptakan manusia denga dilengkapi panca indera. Dan salah satu indera tersebut yang paling penting adalah lisan. Dengan lisan manusia dapat menggunakannya untuk berbicara apa saja dan dengan tujuan apa saja. Baik itu mencaci, memuji, menasihati, berkata benar atau bahkan memberikan kesaksian palsu. Akan tetapi, selamat atau celakanya seseorang ada kalanya justru bermula dari lisan. Oleh sebab itu, dalam pepatah Arab, diibaratkan lidah (alat ucap) bagaikan binatang buas.

Bunyi lengkapnya demikian, "Sesungguhnya lidah itu biantang buas. Jika engkau ikat dia niscaya menjagamu, dan jika engkau lepaskan dia niscaya menerkammu. Oleh karena itu, hendaklah engkau berkata dengan lidah sekedarnya dan hendaklah engkau berhati-hati engannya."

Ada pula kata mutiara yang berbunyi, "Selamatnya manusia adalah bergantung kepada dapat tidaknya ia memelihara lidahnya."


   Begitu besar manfaat lisan itu, tapi sebaliknya besar pula bahaya yang ditimbulkan dan disebabkan olehnya kalau dipergunakan kepada jalan yang salah. Menggunakan lisan pun ada etikanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan."(QS Ash-Shaf: 2-3)

   Sehingga langkah yang harus diambil oleh umat Islam dalam menjaga lisannya antara lain:

a. Selalu berkata yang baik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu AnhuRasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari kiamat maka hendaklah ia berkata baik atau diam."(HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Imam Syafi'i apabila sesorang hendak berbicara, pikirkanlah sebelumnya, seandainya sudah jelas kemaslahatannya maka ucapkanlah namun apabila ragu dengan perkataannya itu jangan disampaikan hingga jelas kemaslahatannya.

b. Tidak berdusta

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul QS Al Hujurat ayat 6 bercerita tentang pentingnya mengecek ulang sebuah berita. Pernah terjadi kisah Rasulullah , seorang yang diutus bernama Khalid bin Uqbah untuk mengambil zakat daRI Bani Musthaliq. Namun Khalid mengabarkan kepada Rasulullah bahwa dirinya hendak dibunuh oleh kaum yang menyatakan tunduk dengan Islam. Berita ini membuat Rasulullah marah dan hampir saja memerangi kaum tersebut. Lalu turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa Khalid Bin Uqbah telah berdusta karena ketakutannya sewaktu menjalankan tugas. (dikabarkan dari Imam Ahmad dari Ibnu Hatim dan ImamTabrani ).

Dari cerita sini, dapat kita simpulkan bahwa mengecek ulang atau bertabayyun dalam Islam merupakan sikap yang harus diambil tatkala kita menerima suatu berita Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu."(HR Achmad).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang ebriman, yaitu orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada guna."

c. Tidak Menggunjing

Yang dimaksud tidak menggunjing ialah seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam:

"Ghibah ialah engkau menyebut suadaramu tentang apa-apa yang tidak disenanginya."(HR Muslim).

Menurut An-Nawai bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah menyebut kekurangan dan keburukan seseorang dalam hal dunianya, agamanya, akhlaknya, istri dan anaknya, suami, hartanya, rumah tangganya, pakaiannya, gaya jalannya, pembantu rumah tangganya, baik menyebut dengan lisan maupun dengan bahasa isyarat kedipan mata, tangan dan sebagainya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah engkau mencari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati?...(QS. Al Hujurat: 12)

Dari sini menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang menggunjing saudaranya yang lain, karena apa yang digunjingkan ternyata tidak benar maka dia akan terkategorikan kedalam fitnah, dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.


d. Tidak menghina sesama Muslim

Sebagai orang yang beriman, kita tidak boleh menghina, mencela dan melaknat seseorang.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok suatu kaum lain, karena boleh jadi mereka(yang diolok) lebih baik dari mereka yang mengolok, dan janganlah pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain, karena boleh jadi wanita (yang diolok) lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim."(QS. Al Hujurat: 11)

Maksud dari mencela diri sendiri adalah mencela sesama muslim. Sebab orang Islam adalah bersaudara seperti satu badan, jadi menghina seorang muslim berarti menghina diri sendiri. Sedang panggilan buruk adalah memanggil seseorang dengan gelar yang tidak ia sukai, seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata:"Hai fasik", dan kata-kata sejenisnya.

e. Tidak berkata kotor.

Yaitu perkataan yang jorok, kotor, tidak sopan, tidak pantas didengar, hal tersebut bisa mengakibatkan orang yang mendengarnya menjadi tersinggung dan sakit hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang ebrkata kotor, seperti sabda Rasul:

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada orang yang kotor perkataannya menyebabkan orang lain berkata kotor pula."
(lihat: Ibnu Hibban 5177, Mawaridu Al-Dzam'an 1566, Ahmad 6514).

f. Menjauhi Pertengkaran dan Perdebatan

Dalam suatu riwayat, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam pernah mendatagi sahabat beliau yang sedang berdebat, seraya beliau menegur dan melarang perbuatan itu, lalu beliau bersabda:

"Barang siapa yang meninggalkan dusta sedang dia dalam keadaan salah, dibangunkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuknya (sebuah rumah) dipinggir surga. Dan barang siapa meninggalkan perdebatan sedang dia dalam keadaan benar, dibangunkan(oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuknya dipertengahannya, dan barang siapa yang baik akhlaknya dibangunkan untuknya (rumah)yang paling tinggi."(HR. Tarmidzi dna berkata :Hadits Hasan)

Karena itu bagi orang-orang yang niat hidupnya untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sudah tentu ia akan menghindari dan menjauhkannya baik dalam keadaan salah maupun benar.






Sombong: Mewarisi Sifat Iblis


Sombong: Mewarisi Sifat Iblis

Bismillahirrahmaanirrahiimm

Disadari ataupun tidak, sering atau jarang, banyak atau sedikit, sikap sombong kadang menghinggapi kalbu seorang Muslim. Tak sedikit Muslim yang menyombongkan diri-atau paling tidak merasa bangga-karena kegantengan/kecantikan fisik, kecerdasan otak dan ilmu yang dimiliki, kebaikan keturunan atau keberlimpahan harta. terkadang kita  lupa bahwa semua itu bukan milik kita, tetapi milik Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kebetulan Dia titipkan kepada kita. Tentu aneh kalau kita merasa bangga dan menyombongkan diri atas milik Allah  Subhanahu wa Ta’ala yang kebetulan Allah titipkan kepada kita. Sama anehnya saat kita membanggakan diri dan bersikap sombong atas milik orang lain-misal: rumah, mobil, perhiasan, uang atau harta lain-yang kebetulan dititipkan kepada kita. Persis seperti tukang parkir yang merasa bangga dan menyombongkan diri saat banyak orang menitipkan mobilnya-termasuk mobil-mobil mahal dan mewah-kepada dirinya di tempat parkir mobil yang juga bukan miliknya.

Karena itu, sikap sombong dan membanggakan diri adalah sikap yang diharamkan Allah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): Janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan penuh kesombongan (TQS al-Isra’ [17]: 37).

Allah  pun berfirman (yang artinya): Itulah kampung akhirat yang Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menghendaki kesombongan di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Akibat kebaikan itu adalah bagi kaum yang bertakwa (TQS al-Qashash [28]: 83).

Sombong (al-kibr) hakikatnya adalah sikap merendahkan orang lain sembari ‘meninggikan’ diri sendiri. Sombong kepada Allah  Subhanahu wa Ta’ala adalah kufur karena dengan itu ia tidak akan menaati Allah  dan menjalankan perintah-Nya. Siapa saja yang meninggalkan perintah Allah  atau melanggar larangan-Nya karena menyepelekannya adalah kafir. Adapun orang yang meninggalkan perintah Allah  dan melanggar larangan-Nya bukan karena menyepelekannya, tetapi karena dikuasai syahwat atau bersikap lalai, maka dia berarti bermaksiat.

Sementara itu, bersikap sombong kepada manusia-jika tanpa disertai maksud merendahkan syariah-Nya-adalah juga tindakan maksiat. Namun, jika seseorang merendahkan para nabi, malaikat atau para ulama karena muncul dari sikap merendahkan ilmu (Allah) maka dia pun bisa jatuh pada kekafiran (Lihat: Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/53).

Karena itu, tindakan merendahkan Baginda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam, melecehkan Alquran dan mencampakkan hukum-hukum Allah, misalnya, jelas termasuk ke dalam tindakan sombong yang tidak bisa ditoleransi. Dalam hal ini, Baginda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam, sebagaimana dituturkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam kalbunya ada sikap sombong meski sebesar biji sawi.”

Seorang sahabat kemudian berkomentar, “Bagaimana jika seseorang menyukai pakaiannya tampak bagus, demikian pula alas kakinya (apakah termasuk sombong, pen.)?” Beliau kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan cenderung merendahkan orang lain.” (HR Muslim).

Jika menolak kebenaran saja terkategori sebagai sikap sombong, apalagi melecehkan Baginda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam, Alquran atau hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sumber kebenaran sejati.

Jika orang-orang sombong tidak akan masuk surga, artinya mereka bakal masuk neraka. Baginda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda, “Maukah kalian aku beritahu penduduk neraka? (Yaitu) Setiap orang yang kejam, kasar dan sombong.” (HR Mutaffaq ‘alaih).

Bukan saja tercela, kesombongan juga amat dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits qudsi, bahkan Allah  menyampaikan ancaman keras terhadap orang-orang yang sombong. Baginda Rasulullah  bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Kebesaran adalah pakaian-Ku dan kesombongan adalah jubah-Ku. Siapa saja yang merampas semua itu dari diri-Ku, Aku pasti akan mengazab dirinya.” (HR Muslim).

Lebih dari itu, orang sombong pada dasarnya mewarisi sikap iblis. Pasalnya, Iblislah yang pertama kali menunjukkan kesombongannya saat dia enggan memenuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihis-salam . Alasan iblis, Adam diciptakan dari tanah, sementara dia dari api, dan dengan itu dia merasa lebih mulia dan terhormat daripada Adam alaihis-salam. (Lihat: QS al-A’raf [7]: 12; Shad [38]: 76). Dengan demikian siapapun yang menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak mau tunduk-patuh pada syariah-Nya dan berhukum dengan hukum-hukum-Nya pada dasarnya adalah orang-orang yang mewarisi kesombongan iblis.

semoga kita tidak  melampaui sifat-sifat Iblis. Na’udzu bilLahi min dzalik.

 Wallahu musta’an

 Sumber www.media.isnet.org     dengan sedikit goresan tangan